Selasa, 29 Januari 2013

Ah ! part 4



 Ulasan cerita sebelumnya: Maki hari itu sendirian di atap gedung sekolah. Tak sengaja dia mendengar suara orang bernyanyi.Maki tidak dapat mengenali wajah orang itu, karena wajahnya tertutup oleh buku. Saat orang itu pergi ke kamar kecil, maki cepat-cepat mencuri dengar lagu yang tak sengaja masih menyala di ponsel yang ditinggal oleh orang itu. Keasyikan sendiri, tanpa sadar Maki tertidur dan sewaktu bangun, didapatinya suatu kertas dipangkuannya yang berbahasa Korea. Dari surat itu, Maki mengetahui kalau dia memiliki Secret Admirer. cerita selengkapnya simak Ah ! part 3

“Secret admirer!! Cie cie cie…”Risa perlahan-lahan kembali ke tabiat aslinya.
“Sudahlah, makan eskrimmu nanti keduluan encer, atau kamu udah nggak mau lagi.” Ena menggoda Risa. Risa langsung menjulurkan lidahnya,” enak aja.”
“Apa kamu yakin dia bakalan muncul kalau kita berempat di sini. Dari kata-kata di suratnya, sepertinya dia baru ada saat kamu sendirian aja di sini. Kamu kan suka ketiduran kalau sendirian.” Nana mengidentifikasi. Aku sedikit merinding dengan kata “sendirian”.
BLAAAMM … tiba-tiba pintu atap gedung sekolah terbuka. Kei, Ken dan Naoki tiba-tiba masuk. Nana melirik Ena. Ena hanya nyengir.
“Jadi, pemilik kertas itu secret admirer mu yah?” Tak ada angin tak ada hujan, Kei langsung bertanya to the point.
“Ena… kenapa kamu harus keceplosan lagi?” Nana geram sambil melirik Ena.
“Keceplosan apa? Aku nggak pernah ngomong apa-apa kok. Eh Kei! Kamu tahu itu darimana?” merasa terpojok Ena malah menatap geram Kei. Kei menjadi diam seribu bahasa. Ena menjadi kesal dan meninggalkan kami tapi entah kenapa Kei merasa bersalah dan menyusulnya.
“Naoki yang ngasih tahu aku.” Ken tiba-tiba buka mulut.
Tapi yang bereaksi malah Risa ,” Kamu?! Aaah..“ Risa langsung bangkit dari duduknya, meninggalkan es krimnya yang sudah seperti air setelah melotot tajam kearah Naoki.
Naoki menajdi bingung dan sempat memberikan ekspresi kesal ke Ken sebelum akhirnya dia mengejar Risa. Ken akhirnya hanya bengong, Nana menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala prihatin, ditepuknya pundak Ken sambil membisikkan sesuatu. Ken memperlihatkan mimik tidak mengerti, tapi Nana menyeretnya untuk pergi. Aku sedari tadi hanya diam saja memperhatikan mereka. 

Tak berselang lama, pintu atap gedung itu terbanting keras sekali. Misa muncul dengan rambut acak-acakan. Matanya nanar melihat kesekelilingnya, sampai akhirnya matanya terpaku ke arahku.
“Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku terdiam sejenak,lidahku kelu.
Misa mendekatiku, melihatku sambil mengernyitkan kening. “Kamu sering ke sini?”
“a-aku bi-biasanya menghabiskan wa-waktu istirahat di-disini.” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab, walaupun masih terbata-bata.
“Sendiri?” Misa melihat sekelilingnya.
“A.. tidak juga, terkadang sendiri tapi… kadang-kadang juga dengan temanku.”
“Siapa?” Misa mengangkat sebelah alisnya.
Aku sedikit tertekan, aku merasa sedang diinterogasi.
“Hmm.. Nana, Ena dan ah! Ri-risa…dia salah satu temanku juga!”kataku tanpa sadar tersenyum,” kamu pasti kenal dia, kalian sekelas kan?”
Raut muka Misa langsung berubah,”Aku tidak suka anak itu!” Katanya kasar.
Aku langsung menelan ludah.
“Anak itu suka cari perhatian cowok, dasar centil.”
“Apa maksudmu! Risa tidak begitu, dia memang ceria, mungkin itu yang membuatnya terkesan seperti menarik perhatian cowok!’’ aku tanpa sadar menaikkan nadaku, merasa tersinggung sahabatku difitnah.
“Diam!!” Misa melotot ke arahku.”Aku tidak pernah meminta pendapatmu.”
Aku langsung kaku. Keringat dinginku sudah terasa mulai mengalir.
“Apa bagusnya anak itu, umbar senyum ke semua cowok… murahan!”
“Cukup! Jangan jelek-jelekan Risa di depanku!” Entah kenapa rasa takutku serasa menguap.
Misa melirikku, kepalanya terangkat, tapi matanya menatap tajam ke arahku. Sebagai catatan Misa lebih tinggi sekitar 5 senti dariku. Aku sekali lagi menelan ludah.
“Oh… kamu berani membentakku ya?” Misa mengambil sesuatu di kantongnya. Dengan lihai dia memutar-mutar pisau lipat yang baru saja diambilnya. Dengan pelan tapi pasti dia semakin mendekatiku. Aku tertegun.
Misa dalam hitungan detik telah meraih kerah bajuku dan mengangkatnya sampai aku harus berjinjit supaya bisa bernafas. “Tidak ada yang pernah berani membentakku, kau tahu itu!” Misa meletakkan ujung pisau tepat di daguku.
Aku menutup mata pasrah, jantungku sudah berdegup kencang sekali. Tiba-tiba pintu di atap gedung sekolah itu terbuka. Sosok GeunSuk muncul dari balik pintu. Langkahnya terhenti saat melihat aku dan Misa. Dia memandangi kami tanpa ekspresi. Kami akhirnya spontan membalas tatapannya.
“Oh… aku tidak akan mengganggu kalian, lanjut saja.” Kata GeunSuk akhirnya dengan santai, menutup kembali pintu itu.
Eh? Kataku dalam hati. Entah kenapa karena kakiku sudah mulai gemetar dan aku sudah mulai merasa putus asa, aku asal saja berteriak.
“GeunSuk!! GeunSuk!!” Aku berteriak sambil menutup mata.
“Apa yang kamu teriakkan bodoh!! Jangan ribut!!” Misa semakin menusuk daguku, terasa sekali ujung pisau itu mengenai kulitku.
KREAAT…
“Ada yang memanggilku?” GeunSuk membuka pintu dengan santai, menatap kami sekali lagi.
Tapi kali ini keningnya mengkerut. Dia mendekati kami.
“Aku rasa latihan kalian terlalu serius, dagumu sepertinya berdarah.” GeunSuk dengan santai menghalau pisau Misa, dan membersihkan sedikit darah yang menyembul keluar di daguku dengan sapu tangannya.
Entah kenapa Misa hanya terdiam, dia tidak melawan bahkan berkata apa-apa.
“Terima kasih.” Kataku malu.
GeunSuk tanpa ekspresi memberikan sapu tangannya.”Darahnya sepertinya masih keluar.” Tanpa basa-basi lagi, GeunSuk meninggalkan kami. Misa masih terpaku.
“A…aku akan kembalikan sapu tanganmu segera!!” teriakku.
Tapi pintu sudah lebih dulu tertutup.
Aku memberanikan diri melirik Misa. Mata Misa masih tertuju ke arah pintu yang baru saja tertutup. Cukup lama, aku baru menyadari kalau aku masih belum aman.
“Apa hubunganmu dengannya.” Misa masih menatap pintu itu.
“Ah?..-nya? Siapa?” aku benar-benar lemot.
Misa menghembuskan nafas, suaranya terdengar jelas. Tak lama kemudian menoleh ke arahku.”Mana saputangan tadi?” Seperti layaknya preman, Misa meminta saputangan yang merupakan penghubung satu-satunya antara aku dan GeunSuk. Aku sebenarnya ingin sekali menolak, tapi… aku tidak cukup berani untuk itu. Dengan berat hati aku menyerahkan sapu tangan itu.
Misa tersenyum, lalu kemudian menatapku lagi,”Jangan senang karena GeunSuk terlihat peduli padamu. Dia hanya orang yang tidak suka melihat darah. Kamu bukan tipenya… tentu saja, aku pasti salah lihat saat itu.”  Misa mengatakan sesuatu yang tak kumengerti. Aku hanya terdiam. Sedikit tersinggung sih mendengar kata “kamu bukan tipenya” tapi… siapa dia? Ibunya saja bukan.
Misa tidak berlama-lama lagi denganku. Untung saja. Sambil menatap sapu tangan GeunSuk dia pergi dengan wajah bersemu merah, meninggalkanku sendirian lagi di atap gedung sekolah siang itu.

to be continued...