Selasa, 30 Oktober 2012

Tahun-tahun Kisahku (Rahasia Hiro)

1988
            Aku tidak begitu ingat dengan kelahiranku, tentu saja. Aku hanya dibekali beberapa foto menjelang kelahiranku serta beberapa foto ketika aku masih kecil. Dengan semua foto itu, aku bisa membayangkan bagaimana aku dulu sewaktu kecil. Aku pun sering menguping pembicaraan Nee-chan dan Kaa-san kalau membahas masa kecilku. Aku sendiri tak pernah menanyakannya secara langsung. Aku hanya mengetahui tahun, tanggal dan bulan kelahiranku, serta nama lengkapku, selebihnya? Aku tidak terlalu peduli. Oh ya… Namaku Hiro Mizuno.

1996
Hajimemashite, boku wa Hiro Mizuno desu, Douzo Yoroshiku Onegaishimasu!”
Aku berusaha untuk tetap tenang, menutupi kegugupanku dengan senyum lebar dipaksakan. Aku baru pindah ke Indonesia, dan ini adalah hari pertamaku masuk sekolah di tempat yang sangat asing bagiku. Wajah asing, bahasa asing, aku tertekan. Badanku basah oleh keringatku yang terus bercucuran, tapi aku tetap berdiri tegap di depan kelas, sambil memandagi sekeliling kelas. Kenapa tak ada reaksi? Apa mereka mengerti yang aku ucapkan? Aduh bagaimana ini? Aku sudah mulai gusar.
Hening…
Ku pandangi sensei, beliau hanya tersenyum, terlihat sekali dipaksakan. Akhirnya senyum lebarku lenyap, aku menunduk lemas, mukaku terasa panas, aku malu sekali. Aku sudah tidak sanggup lagi bersikap tegar menatap wajah teman-teman baruku yang sedari tadi memelototiku tapi tidak berkata apa-apa.
Doumo, Hiro Kun!” Seorang anak perempuan akhirnya memecahkan keheningan, sembari tersenyum lebar sambil memamerkan dua gigi seri depannya yang hitam, menatapku dengan ramah.
Entah kenapa, aku merasa terselamatkan. Aku akhirnya bisa menepis kegundahanku sedari tadi. Ada yang mengerti bahasaku? Aku sangat senang.
Begitulah awal pertemuanku dengan Risa. Sejak saat itu, kami akhirnya menjadi teman yang cukup dekat. Gadis kecil yang ceria ini, berusaha berbicara denganku menggunakan bahasa Jepang yang sama sekali tak kupahami. Dia sering kewalahan berbicara denganku, tapi… dia tidak pernah menyerah. Aku akhirnya termotivasi untuk bisa fasih berbahasa Indonesia, aku harus bisa membuatnya nyaman denganku.
Awalnya aku memanggilnya Marliana, aku kira itu nama keluarganya. Tapi… semua teman-teman cowok, bahkan senseipun memanggilnya Risa. Aku jadi bingung. Ketika kutanyakan perihal itu ke Risa, dia hanya tertawa.
            “Kau bisa panggil aku Risa, seperti teman-teman yang lain…”
Aku berfikir, aku berharap bisa sedikit merasa special jika memanggilnya dengan nama kecilnya tapi ternyata itu tidak berlaku di sini. Aku terdiam. Aku ingin berbeda.
            “Ah… bagaimana kalau aku panggil kamu Liana, diambil dari Mar-Liana?”
            Risa mengerutkan kening,” Entahlah… kenapa kamu tidak ingin memanggilku Risa, tapi… Liana? Bagus juga… berarti hanya Hiro yang memanggilku dengan nama ini!” Risa tersenyum.
            Betul sekali. Kataku dalam hati, sambil tersenyum puas. 

2000
Hari kelulusan… tak terasa, aku akhirnya sudah benar-benar beradaptasi dengan lingkungan baruku. Nee-chan membangunkanku dengan paksa, lebih sadis dari biasanya. Tanpa meminta persetujuanku, dia memakaikanku minyak rambut Tou-San dalam jumlah yang mengerikan. Aku menolak sejadi-jadinya, tapi… aku sudah cukup kesiangan. Aku akhirnya harus pergi dengan perasaan tidak enak.
Sesampai di sekolah, aku melihat teman-temanku didandanin lebih parah dariku, aku bisa bernafas lega. Kepercayaan diriku kembali lagi, sampai… aku mendengar suara cekikikan yang sangat mengganggu.
“Kenapa kamu melihatku sambil tertawa begitu?” Kataku ke Liana.
“Hehe… sepertinya sepatumu kalah mengkilat dah dari rambutmu…”Sambil menjulurkan lidah dia mengejekku dan segera berlari.
Shock… itulah yang kurasakan, badanku rasanya baru ditimpa batu yang sangat berat. Kaku… badanku kaku. Kepercayaan diriku seketika itu menjadi minus. Liana sepertinya menyadari keterpurukanku. Dia mendekatiku.
“Hiro?” sapanya ragu.
Aku begitu malu, aku tidak ingin Liana berfikir macam-macam tentangku, seperti takut nggak punya kesempatan untuk mengungkapkannya aku berteriak tanpa sadar, “Ini kerjaan Natsumi-Chan!! Dia memakaikanku terlalu banyak minyak rambut!!”
Liana diam, aku pun tak tahu harus bersikap apa.
“Hiro! Risa! Cepat ke sini!” Untunglah Doni_ketua kelas kami memanggil. Aku bisa bernafas lega. Kami pun segera berkumpul dengan teman-teman lainnya.
Hari kelulusan itu diakhiri dengan sesi foto-foto. Tanpa sepengetahuan Liana, aku meminta Rangga untuk mengambil fotoku berdua dengannya. Tak kusangka, walaupun sudah kurencanakan, aku tetap saja malu. Apalagi melihat muka Liana yang memerah. Kawaii..
Inilah saat yang kutunggu. Aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Memberikan kancing bajuku, pada orang special. Aku tahu, mungkin di sini, tradisi ini tidaklah lumrah, tapi… entahlah, aku tetap ingin memberikan kancingku ke Liana, terserah bagaimana tanggapannya. Sebelum pulang, aku memanggilnya. Mencoba bersikap biasa, menyembunyikan tanganku yang berkeringat sedari tadi, aku menyodorkan kancing bajuku.
“Nih..”
Dia terdiam penuh tanda tanya. Aku jadi salah tingkah. Aku telah menduga reaksi ini, tapi tak kusangka, aku akan speechless seperti ini.
“I-ini adalah tanda persahabatan kita. Hmm … Kak Natsumi juga mendapatkan kancing baju dari temannya saat kelulusan.” Kataku gugup.
Dia tertawa, “Ok.. Aku akan simpan ini baik-baik. Sebagai tanda persahaban kita.”
“Yakusoku? Kamu nggak akan ngelupain aku kan .. Liana-Chan?”
Kami pun membuat perjanjian dengan saling mengaitkan kelingking. Hari yang indah.

2004
Tou-san pernah mengatakan sewaktu-waktu kami akan pindah. Dan seminggu setelah kelulusan SD, ternyata waktu kepindahan itu tiba. Aku benar-benar tidak pernah menyangka, perpisahanku dengan Liana akan secepat itu. Aku berusaha membujuk Kaa-san dan Tou-san untuk memberiku ijin tinggal di Indonesia, tapi… aku masih berusia 12 tahun saat itu, dan aku tak punya sanak saudara di sini. Aku menangis semalam suntuk. Liana esoknya datang ke rumahku, aku kira dia akan menghalangiku pergi. Tapi… dia malah memberiku bonekanya. Kecewa? Tentu saja.
“Kita akan tentap saling kontak kan? Ini adalah boneka kesayanganku, balasan dari kancing yang kamu berikan saat itu, kamu jaga yang baik yah? Jangan lupain aku…” Aku berusaha untuk tersenyum.
Nee-chan ternyata mencuri dengar kata-kata Liana-chan. “Apa? Hiro-Chan memberikan Risa-Chan kancing bajunya?” Nee chan melihatku dengan muka tak percaya, aku sampai merinding, perasaanku tidak enak, “Oh…ternyata kau ro..”belum sempat Nee-chan menyelesaikan kata-katanya, aku segera bangkit membungkam mulutnya. “Haahahahahaha… betsuni Liana-Chan!...jangan dengarkan nenek lampir ini.” Hampir saja, pikirku. Aku tidak mau Liana-chan berfikir yang aneh tentangku. Aku akan pindah, jangan sampai aku memberikan kesan yang tidak menyenangkan.
Aku tadinya sempat kecewa karena Liana-chan tidak menunjukkan ekspresi kehilangan akan kepindahanku. Tapi, ketika kulihat dia menangisi kepergianku, aku sedikit merasa senang.
Sudah 4 tahun yang lalu aku meninggalkan Indonesia. Sesampai di Jepang, aku kembali mencoba beradaptasi. Rindu… aku rindu teman SDku. Apalagi setiap aku memasuki kamarku, aku selalu disambut oleh boneka Teddy Bear usang yang duduk manis di antara bantalku. Kayak cewek, pikirku, tapi aku tetap menyimpannya.
Setiap saat aku selalu ingin menulis surat untuknya. Tapi… ketika aku pindah ke Osaka dua tahun yang lalu, aku kehilangan alamatnya. Aku terlalu terburu-buru ketika membereskan barangku saat pindah. Aku sampai melupakan hal penting itu. Surat yang selalu dia kirimkan pun aku lupa membawanya. Semua tertinggal di Tokyo, ketika aku mencoba mencarinya kembali ke sana, pemilik baru rumah yang kutempati dulu itu tidak memberiku izin untuk masuk. Mereka terlihat terganggu dengan kedatanganku. Alhasil.. kami tidak berhubungan lagi selama aku tinggal di Osaka. 

2006
Sudah 4 tahun kami tidak berhubungan lagi. Aku sering berfikir apakah dia sudah melupakanku? Aku bahkan tidak percaya diri lagi untuk bertemu dengannya, aku takut jika kami bertemu dia tidak akan mengenaliku. Dia benar-benar tak bisa lenyap dari pikiranku. Aku telah melewati masa-masa virus merah jambu berkembang yaitu masa SMP dan SMA, tapi… sampai detik ini, tak ada yang bisa menggantikan Liana di pikiranku. Aku sering dibilang bodoh oleh teman-temanku karena menolak cewek terpopuler disekolah. Tapi… mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin berpura-pura menyukai seseorang, sedangkan aku bahkan tidak sedikitpun memiliki ketertarikan untuk menjalin hubungan.
Satu hal yang tak pernah kulupakan dari sosok Liana, adalah kain yang selalu menutupi kepalanya. Dulunya aku tidak terlalu memperhatikan tampilannya yang berbeda, karena hampir semua teman-teman perempuanku bahkan sensei pun mengenakannya. Hanya saja, sesampai di Jepang, penampilan seperti itu jarang kutemukan. Aku pun mulai mencoba mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Itulah awal aku mulai mengenal tentang Islam. Aku begitu tertarik, ditambah lagi, ketika aku berteman dengan Hasan semasa SMA. Hasan banyak memberikanku informasi tentang Islam, memberikan berbagai rekomendasi, arahan apa yang harus aku lakukan untuk menyelami Islam. Ilmuku sering kutularkan ke Tou-san, Kaa-san bahkan Nee-chan, mereka senang melihat perubahanku semenjak mempelajari Islam. Nee-chan malah mendahuluiku memeluk Islam dan tak lama setelahnya menikahi seorang muslim Inggris sebulan yang lalu, entah bagaimana ceritanya. Yang pasti, Kaa-san yang begitu dekat dengan Nee-chan juga menunjukkan ketertarikannya, tapi belum memantapkan hati begitu pula Tou-san yang terpengaruh oleh Kaa-san.
Aku dan Hasan mengambil jurusan yang berbeda semasa kuliah, jadi kami jarang bertemu, namun kami tetap berhubungan. Hasan kerap kali mengajakku mengikuti kajian. Dari sanalah aku terus menambah ilmuku tentang Islam.
Musim gugur… aku sangat suka musim ini. Aku senang melihat daun-daun yang berguguran terbawa angin. Hari itu, Matsuoka mengajakku keluar. Kami memutuskan untuk berlari pagi di taman sambil menikmati daun-daun yang berguguran. Kami asyik mengobrol sampai langkah kami terhenti karena seorang perempuan yang tiba-tiba menatap dan memandangi kami. Mata kami sempat bertemu, tapi ternyata dia mengalihkan pandangannya.
Tidak asing, pikirku. Wajahnya sepertinya tidak asing. Apakah karena aku kerap melihat gadis berkerudung, sehingga membuatku merasa dia tidak asing? Entahlah… hanya saja ada perasaan yang berbeda. 

Liana…? Tidak mungkin? 

2007
Setelah sempat bertemu dengan gadis yang kuharapkan adalah Liana. Ternyata, aku mendapati gadis itu menjadi teman sekelasku. Namanya? Risa Marliana.
Liana? Aku tidak berani mempercayai sesuatu yang terlalu kebetulan ini. Tidak… tentu saja yang memiliki nama seperti itu tidaklah hanya satu orang. Dia dari Indonesia, dia berkerudung… segala macam hal memenuhi pikiranku. Semuanya sesuai, aku mungkin saja akan langsung memperkenalkan diri, “ Hei, Liana… ini aku Hiro.. kamu masih ingat?”
Tidak… semakin aku mau memantapkan diriku, semakin aku ragu. Aku terlalu pengecut untuk mempercayai semua yang sangat kebetulan ini. Aku takut dia bukanlah Liana, kalau iya, aku takut dia tidak mengingatku.
Setahun berlalu semenjak kami menjadi teman sekelas, dan aku masih bisu, tak berani menyapanya sebagai Hiro. Terkadang aku yakin kalau dia Liana, tapi tak jarang aku ragu. Dia tidak seceria Liana yang kukenal. Oke… manusia bisa berubah, tapi… aku takut kalau aku terlalu berharap itu dia. Yang kulakukan hanya menatapnya diam-diam.
Aku terkadang menyapanya. Sikapku harus sama pada semua teman. Jangan sampai dia merasa aku tidak ramah padanya. Padahal aslinya aku begitu gugup jika berdekatan dengannya. Mungkin dia tidak menyadarinya. Sikapku padanya dan pada teman-teman perempuan yang lain jelas berbeda.
Matsuoka, temanku sedari SMP saja yang menyadari sikapku yang sedikit aneh. Dia selalu berusaha mngorek keterangan dari sikapku yang sedikit berbeda setiap kali berada di dekat Liana. Akhirnya aku menyerah, untung dia bisa menjaga rahasia.

2009
Hal yang tak pernah kuduga. Teriakan Aisyah pagi itu, benar-benar memantapkan hatiku.
“Apa?! Hahaha… Kamu menganggap Mizuno-kun mempesona?!”
DEG… mempesona? Aku? Dare? Siapa yang mengatakan hal itu? Dengan perasaan campur aduk aku membalikkan badan. Tak sadar mataku mengarah ke Liana yang sedang berusaha membungkan mulut Aisyah.
Liana? Diakah yang menganggapku… spontan mukaku terasa panas. Oh tidak… …jantungku berdegup keras sekali.
“Wow… Kamu punya penggemar rahasia Hiro…” Matsuoka terlihat sangat bahagia, dia akhirnya bisa menunjukkan taringnya. Setelah 2 tahun bungkam.
Kelas seketika itu ribut tak terkendali. Mereka menertawakan reaksiku dan mukaku yang memerah. Aku terdiam. Tidak… tepatnya… aku KO. Aku akhirnya memantapkan diriku untuk melamarnya. Hanya dia yang membuatku merasa begini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Teman-teman yang lainnya semenjak saat itu, jadi sering mengolok kami. Mereka sampai menyingkat nama kami menjadi MizuNa (Mizuno-Marliana). Aku jadi tambah gugup saja. Melihat Liana yang kerap menunjukkan muka tidak nyaman,aku sering mencari celah menyapanya, dan meminta maaf dengan bahasa tubuh. Aku sangat senang jika dia membalasku.
Lama kelamaan kelas kembali tenang. Aku akhirnya bisa sedikit konsentrasi dengan tugas akhirku.
Tahun itu, aku memantapkan diriku sebagai muallaf. Kaa-san maupun Tou-san juga mengikuti jejakku. Melihatku yang memantapkan diri, mereka ternyata tak mau kalah. Nee-chan yang mengetahui hal ini begitu bahagia.

2010
Hari itu, seperti biasa aku pergi ke Masjid. Tapi … untuk pertama kalinya, aku diberi kehormatan untuk mengumandangkan Adzan. Aku sedikit ragu awalnya. Aku memang  terkadang latihan di rumah, bersama Hasan. Tapi… tetap saja aku gugup.
Aku menghela nafas… Bismillah… ternyata aku bisa mengumandangkan adzan dengan lancar. Semua tersenyum puas menatapku, Hasan bahkan menepuk pundakku memberi selamat. Aku senang… sangat senang.
Semenjak memantapkan diri ingin melamar Liana, aku sering berkonsultasi dengan Hasan dan Murobbiku. Aku diberi banyak penngarahan dan persiapan. Selama itu, aku berusaha untuk menjaga diriku.
Aku berusaha untuk bersikap seperti biasa. Walaupun aku merasa banyak yang berubah dengan diriku, tapi… aku tetap seperti aku yang dulu. Alhamdulillah teman-temanku tidak terlalu memperhatikan perubahan yang berarti di diriku.
Mendekati kelulusan… Aku semakin mantap saja. Perihal ini bukanlah suatu yang rahasia lagi di keluargaku. Kaa-san dan Tou-san bahkan Nee-chan sangat mendukung. Aku menjadi lebih tak sabar lagi. 
“Wah… kamu pasti senang yah, kalian lulusnya bareng.” Matsuoka menyenggolku.
“Apa-apaan sih.” Aku mencoba cool.
“Hahahahah telingamu merah tuh… ah dasar…”Matsuoka terus mengejekku.
Baru saja Matsuoka selesai dengan ocehannya, tiba-tiba giliran Matsumoto yang sepertinya ingin berulah.
 “Wah… ternyata kalian lulusnya barengan yah…Mizuna…hahahaha”
Suasana seketika itu menjadi ramai, berkali-kali mereka diberi peringatan. Lucu, pikirku. Aku pun tanpa sadar tertawa, tapi ketika melihat Liana yang malah terdiam, spontan nafsu ketawaku hilang.
Acara kelulusan itu pun berjalan dengan lancar. Hanya saja, aku tidak menyangka. Aku begitu popular sampai teman-teman cewek ribut ingin minta kancing bajuku.
“Ah… kalian kayak anak kecil aja, kita udah Mahasiswa… masa masih kayak anak SMP, SMA, minta kancing baju, lucu banget!!” kata Matsumoto dengan suara lantang. Serentak teman-teman cewek mengejeknya.
“Huuuuu…. Dasar …bilang aja iri nggak ada yang minta kancing bajumu…wuuu… lagipula, mau masih SMP kek SMA kek, peduli amat, kalau emang kami mau minta, itu bukan urusanmu.” Narumi beradu pandang dengan Matsumoto.
Seketika itu aku ingat dengan kancing yang kuberikan pada Liana, apa dia masih menyimpannya? Atau malah sudah melupakannya? Ah… aku tidak mau memikirkannya.
 “Yah… baiklah itu emang bukan urusanku..tapi… seharusnya kalian ingat dong… yang lebih pantas dapetin kancing bajunya Hiro bukan kalian …tapi Marliana…. Iya kan Mizuno?”
Aku sangat terkejut dengan pernyataan Matsumoto. Apa-apaan ini! Aku benar-beanr tidak bisa menyembunyikan mukaku yang memerah, aku benar-benar malu. Parahnya mereka menikmati kelemahanku ini, semua teman-teman baik cewek maupun cowok tertawa terpingkal-pingkal. Aku bukan badut! Hello! Aku akhirnya berusaha memberikan permintaan maaf lagi ke Liana dengan bahasa tubuh, melihat mukanya yang mengkerut. Dia membalas tidak apa-apa, tapi jelas terlihat dia tidak nyaman.
Hari kelulusan yang penuh tawa itu akhirnya berakhir dengan foto bersama, dan jahilnya, teman-teman itu berkerja sama mengerjaiku dan Liana. Tidak seperti sewaktu SD, ini diluar rencanaku. Mereka mendorongku dan Liana, lalu sekilas kami difoto. Aku tidak bisa bergaya keren, aku terlalu gugup. Payah…

2012
Muka Elisa mengkerut…”Kok… Abi dan Ummi ngomongnya bisa sama gitu, kompakan gitu… hmmm… udah pada janjian yah? Ah… nggak seru..reaksinya sama…”
Aku kaget dengan pernyataan Elisa. Anak mungilku yang sangat aktif.
Aku saling pandang dengan Liana… kami pun akhirnya tertawa.
2 Tahun telah berlalu semenjak aku akhirnya memutuskan untuk menikahi Liana. Dia terlihat begitu kaget melihatku mendatangi rumahnya. Aku merasa bersalah tidak mengabarinya terlebih dahulu. Dia baru benar-benar menunjukkan kekesalannya setahun setelah pernikahan kami. Untungnya dia menerimaku, kalau tidak, aku akan sangat malu.
Tak kusangka, Liana ternyata juga ragu menyapaku, karena takut aku bukanlah Hiro yang dia kenal dulu. Sedikit merasa senang, dia ternyata tidak melupakanku. Sekarang kalau kami membicarakan semua ini, kami pasti akan tertawa mengingat kekakuan kami. Liana ternyata tak pernah menyangka aku Hiro karena menurutnya aku begitu populer dan ceria. Padahal keceriaanku itu berasal darinya, aku tertular olehnya.
Aku sangat senang, cinta pertamaku akhirnya menjadi Istriku. Kehadiran Elisa menambah keceriaan kami, anak mungil yang sangat senang membaca Al-Quran ini membuat kami tak henti-hentinya bersyuukur.
Sebulan setelah pernikahanku, aku mendapat undangan dari Hasan. Dia mendapatkan gadis Lebanon. Ketika aku mengomentari Istri Hasan yang cantik, Liana entah kenapa mencubitku sakit sekali. Apa dia cemburu? Ck ck ck… dasar wanita. Cuma mau menyenangkan hati teman aja dia pakai bawa perasaan segala. Hasan hanya cekikikan.
Aku tanpa sengaja melihat sebuah buku tergeletak di atas tempat tidur pagi itu. Sebenarnya mau kurapikan, tapi… tak sengaja aku melihat namaku ditulis berkali-kali. Aku jadinya penasaran. Tanpa sepengetahuan Liana aku membaca diarinya. Maaf ya …
Esoknya aku mendapatinya membaca buku diarinya.
Dengan wajah tanpa dosa, aku bertanya,“Lagi baca apa?”
Spontan dia menutupnya… “Nggak ada, hehe…”
Aku mencoba memancingnya,” Pasti isinya aku aja…” Kataku iseng.
Dia malah menjulurkan lidah…” Berharap yah…” sahutnya. 
Aku hanya tersenyum.

                                                                    FIN

Jumat, 26 Oktober 2012

Tahun-tahun Kisahku...

1988

Ibuku menghela nafas lega. Perjuangan menahan mules-mules yang tak henti-hentinya selama seminggu akhirnya terbayar hari ini. Yatta! Aku lahir... dengan berat sekitar 3 kilo. Segera Adzan dikumandangkan di telingaku. Alhamdulillah ... itulah kata-kata pertama yang kudengar. Walaupun memori saat itu merupakan memori yang tertancap di benakku berdasarkan cerita Ibuku. Aku merasa aku melihat sendiri proses kelahiranku. Proses yang begitu mendebarkan, bagi Ibu dan Bapakku, serta keluarga besarku. Kakekku dengan suka cita menggendongku dan spontan menamaiku Risa Marliana. Ibu dan Bapakku hanya mengangguk setuju.

1996
Hajimemashite, boku wa Hiro Mizuno desu, Douzo Yoroshiku Onegaishimasu!”
Berdiri di depan kelas, anak laki-laki dengan senyum lebarnya memamerkan dua gigi seri depannya yang hitam. Aku rasa dia terlalu banyak makan permen dan cokelat sepertiku, pikirku. Lama dia memandangi sekeliling kelas. Hening…
Bahkan Bu Wardiah, hanya cengir nggak jelas. Akhirnya senyum lebarnya lenyap, dia menunduk lemas, telinganya memerah. Kasian, pikirku. Sepertinya dia malu. Spontan aku berdiri. Dengan suara lantang aku pratekkan hasil belajar privatku setiap malam di rumah Sensei Ogawa.
Doumo, Hiro Kun!” sembari tersenyum lebar sambil memamerkan dua gigi seri depanku yang juga menghitam. Anak itu mengangkat wajahnya, tak lama kemudian dia tersenyum kembali.
Begitulah awal pertemuanku dengan Hiro. Semenjak itu kami pun jadi teman dekat. Walaupun tak jarang kami sering nggak nyambung. Hiro baru bisa berbahasa Indonesia dengan fasih setelah dua tahun. Jadinya, selama dua tahun itulah kami sering cengar-cengir nggak jelas. Bahasa tubuh adalah bahasa yang paling sering kami gunakan.
Tak jarang aku dan teman-teman yang lainnya bermain ke rumahnya, begitu pula dengan Hiro, dia kerap kali menjemputku sekolah. Aku sampai lumayan kenal dengan Kakak perempuannya Natsumi-san, yang saat itu menginjak kelas 1 SMA.

2000
Tak terasa aku akhirnya akan menanggalkan predikat anak SD. Dengan rambut di kuncir dua, aku siap untuk hari kelulusan. Kulihat rambut Hiro begitu mengkilat hari itu, mungkin angin kencangpun tak kan mampu mengacak rambutnya yang seperti menempel di kepalanya. Aku tersenyum kecil memandangnya, ternyata Hiro sadar.
“Kenapa kamu melihatku sambil tertawa begitu?” Hiro bergaya sok cool tapi malah terlihat sangat lucu.
“Hehe… sepertinya sepatumu kalah mengkilat dah dari rambutmu…”Sambil menjulurkan lidah aku mengejek Hiro dan segera berlari, sebelum dia menghabisiku.
Tapi ternyata, Hiro tidak mengejarku. Dia terdiam, aku pun menghentikan langkahku. Dengan sedikit merasa bersalah ku hampiri dia.
Telinganya memerah…”Hiro?” sapaku.
Hiro mengangkat wajahnya, “Ini kerjaan Natsumi-Chan!! Dia memakaikanku terlalu banyak minyak rambut!!” teriaknya.
Aku begong, bingung harus bereaksi seperti apa.
“Hiro! Risa! Cepat ke sini!” Untung Doni_ketua kelas kami memanggil. Kami pun segera berkumpul dengan teman-teman lainnya.
Hari kelulusan itu diakhiri dengan sesi foto-foto. Baik sekelas, maupun antar teman. Ada salah satu temanku yang iseng, memfotoku berdua dengan Hiro. Spontan telinga Hiro memerah lagi, sontak kami semua tertawa geli. Hiro benar-benar pemalu.
Sebelum pulang, Hiro memanggilku.
“Nih..”
Hiro menyodorkanku salah satu kancing bajunya. Aku hanya terdiam penuh tanda tanya. Hiro jadi salah tingkah.
“I-ini adalah tanda persahabatan kita. Hmm … Kak Natsumi juga mendapatkan kancing baju dari temannya saat kelulusan.” Telinga bahkan wajah Hiro merah padam.
Aku tertawa melihat raut mukanya yang serius tapi malu. “Ok.. Aku akan simpan ini baik-baik. Sebagai tanda persahaban kita.”
“Yakusoku? Kamu nggak akan ngelupain aku kan .. Liana-Chan?”
Kami pun membuat perjanjian dengan saling mengaitkan kelingking. Lalu kami  tertawa. Tak pernah terpikirkan… tawa itu akan berubah jadi tangisan setelahnya.

2004
4 tahun sudah berlalu. Tak terasa … Hiro telah pergi selama ini. Surat terakhirnya adalah dua tahun yang lalu. Semenjak itu aku tak pernah mendengar kabar apapun darinya.
Aku masih ingat, saat perpisahan kami. Kami menangis sejadi-jadinya. Layaknya anak kecil yang mainannya diambil. Aku memberikan Hiro boneka teddy bear kesayanganku, kuharap dia masih menyimpannya. Aku sering berfikir, pasti lucu kalau anak cowok simpan-simpan boneka. Tapi aku tidak punya sesuatu yang berharga selain boneka itu.
Seminggu setelah kelulusan SD, Mr. Mizuno ternyata harus balik ke Jepang. Hiro begitu bersikeras ingin menetap, tapi apalah daya, dia tidak punya sanak saudara di sini. Dengan berbagai cara mereka memaksa Hiro untuk mau balik ke Jepang. Kak Natsumi sampai tak hentinya menggerutu. Aku mendekati Hiro, kuberikan dia boneka kesayanganku. Hiro menatapku. Matanya bengkak, hidungnya memerah.
            “Kita akan tentap saling kontak kan? Ini adalah boneka kesayanganku, balasan dari kancing yang kamu berikan saat itu, kamu jaga yang baik yah? Jangan lupain aku…” Aku tersenyum, mencoba menahan tangisku.
            Kak Natsumi sepertinya mencuri dengar kata-kataku. “Apa? Hiro-Chan memberikan Risa-Chan kancing bajunya?” Kak Natsumi dengan muka tak percaya melihat Hiro, “Oh…ternyata kau ro..”belum sempat Kak Natsumi menyelesaikan kata-katanya, Hiro segera bangkit membungkam mulutnya. “Haahahahahaha… betsuni Liana-Chan!...jangan dengarkan nenek lampir ini.”
Aku tidak mengerti, tapi entah kenapa telinga Hiro memerah lagi saat itu.
Walaupun sudah mencoba tegar, kami pun akhirnya tetap menangis. Mengingat kalau Hiro akan pergi jauh dan tak tahu kapan akan bertemu lagi, aku semakin tak bisa membendung air mataku.
Tak ada… aku selalu mengecek kotak posku. Hal itu bahkan sudah seperti rutinitasku setiap hari. Semenjak dia bilang akan pindah ke Osaka, kami lost contact

2006
Aku menghirup udara Osaka yang segar pagi itu. Hmmm…. Sudah seminggu aku di Osaka. Kenangan akan Hiro kembali terbayang. Osaka… apakah dia masih disini? Sudah 4 tahun yang lalu dia katakan dia pindah ke sini, dan sejak saat itulah dia tidak mengabariku lagi. Aku sering berfikir apakah dia sudah melupakanku? Apakah aku akan mengenalinya jika kami bertemu? Apakah dia masih seperti dulu?… apakah…apakah… berbagai tanda tanya memenuhi pikiranku. Setelah sebelumnya aku begitu bersemangat datang ke sini karena berharap bertemu dengan nya, tapi sesampai di sini aku malah ragu untuk bertemu dengannya. Aku takut Hiro tak mengenaliku, aku takut Hiro tak seperti dulu lagi. Aku takut…mengetahui hanya aku yang merindukannya selama ini.
Aku menghela nafas sambil menyusuri taman yang tak jauh dari dormku. Rentetan pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan di taman, daunnya sudah mulai menguning dan berguguran, sungguh indah dipandang. Aku tak melewatkan momen itu, dengan semangat aku mengambil foto pemandangan pagi yang menawan itu.
“Wow!! Aku sangat suka bagian itu! Keren banget!! Tsugoi desu yo ne!!” 
Refleks badanku menoleh ke arah sumber suara. Suara yang ternyata berasal dari segerombolan pemuda yang jalan tepat dibelakangku. Aku menatap pemuda yang sedang dengan semangatnya membahas film yang baru saja ditontonnya. Dia sepertinya menyadarinya. Dia terdiam, sejenak mata kami bertemu. Teman-temannya yang lain pun jadi ikut memandangku, aku jadi salah tingkah dan mengalihkan pandanganku sambil menunduk. Pemuda tadi pun akhirnya berlalu bersama teman-temannya. Ku pandangi mereka sampai tidak terlihat lagi.
Hiro…? Diakah itu? 
2007
Aku sangat kerasan di Osaka. Aku memiliki banyak teman, dan letak dormku tak jauh dari Masjid.  Di sini aku pertama kali bertemu dengan Aisyah, teman sekelasku dari Mesir yang sudah kuanggap seperti saudaraku. Walaupun belum setahun kami saling mengenal, tapi kami telah banyak berbagi cerita. Aisyah kerap kali menceritakan tentang Mesir dan keluarganya, aku pun tak kalah semangat menceritakan tentang Indonesia dan keluargaku. Pertama kali bertemu aku sudah merasa nyaman dengannya, Hiro pun terkadang menjadi bahan obrolan kami.
“Kamu yakin, dia Hiro temanmu sewaktu kecil? Bukannya katamu Hiro tu pemalu, menurutku Mizuno Kun terlalu ceria untuk tipe anak pemalu.”
Aku terdiam. Aku pun sebenarnya berfikir begitu. Tapi… selain namanya yang benar-benar mirip, wajahnya pun entah kenapa terlihat familiar.
“Yah… siapa tahu Hiromu itu penulisan kanjinya berbeda dengan Mizuno…”
Aku kembali hanya terdiam. Hal itu juga sempat terfikir olehku.
Hiro Mizuno… teman sekelasku yang sangat ceria. Dialah orang yang selama ini kucurigai sebagai Hiro teman masa kecilku. Tapi… terlalu banyak hal berbeda yang kudapati darinya. Walaupun aku selalu berfikir orang pasti berubah. Bahkan Hiro yang dulunya payah dan pemalu bisa saja menjadi cowok ceria yang … keren.
“Kau terlalu berharap..” Aisyah kembali memecahkan lamunanku. “Sudahlah… kenapa kamu masih memikirkan si Hiro yang bahkan belum tentu mikirin kamu…” Aisyah menghela nafas.
Aku kembali terdiam… Aisyah terlihat geram di cubitnya pipiku sampai terasa melar. Aku meronta-ronta sambil memukulnya, dia hanya tertawa. Aku pun akhirnya ikut tertawa sambil memberikan balasan gelitikan maut.

2009
“Mizuno itu ceria banget yah!” Aisyah mengambil tempat duduk didekatku. Aku hanya mengiyakan dengan malas.
“Sudah nyerah ya? Apa nggak ada sesuatu hal lagi yang membuatmu berfikir dia Hiro-mu?”
“Nani mo nai…Dia terlalu mempesona…”
“Apa?! Hahaha… Kamu menganggap Mizuno-kun mempesona?!” Aisyah begitu histeris, sayangnya dia histeris di saat yang tak tepat. Suasana yang saat itu begitu hening, membuat suara Aisyah terdengar begitu jelas.
“Ssstt” Aku langsung bangkit membungkam mulut Aisyah. Namun terlambat, Mizuno menoleh ke arah kami. Aku tak sengaja memandangnya, dia pun melihatku. Sekilas mata kami bertemu, dia langsung memalingkan pandangannya, telinganya memerah. Suasana yang hening sontak riuh karena kelakuan Mizuno, teman-teman cowoknya menggodanya sampai mukanya merah padam. Yang perempuan juga tak mau kalah. Mizuno benar-benar jadi bahan olokan sepanjang hari. Aku hanya melongo. Aku bukanlah anak menonjol, tapi setelah kejadian itu, semua orang seperti merasa mengenalku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ohayou! Marliana-Chan!”… entah berapa orang telah menyapaku pagi ini. Aku dan Aisyah saling tatap. Unbelievable.
Hariku menjadi 180o berbeda. Mizuno yang dulunya santai saja menyapaku, sekarang agak sungkan. Apalagi kalau dia sedikit terlihat dekat denganku, sekelas pasti akan riuh layaknya pasar. Mizuno hanya tersenyum kecil kalau diolok teman-teman yang lain…
Sekali dua Mizuno melihatku, jika tatapan kami bertemu, dia akan memberikan gesture yang menandakan permintaan maaf, aku pun membalasnya dengan gesture yang berarti nggak apa-apa…
Lama kelamaan kelas kembali tenang. Aku maupun Mizuno sudah dapat bernafas lega. Menjelang kelulusan, kami lebih disibukkan untuk persiapan tugas akhir.

2010
Hari itu, seperti biasa aku pergi ke Masjid. Aisyah sudah menungguku. Tak ada yang berbeda saat itu, selain…
“Tebak siapa itu yang adzan…!” Aisyah begitu heboh.
“Aku nggak tahu, nggak jelas…”
“Masha Allah… Risa-Chan! Itu Mizuno!...” Aisyah kembali membuat keributan.
Ibu-ibu di sana sampai menegurnya untuk mengurangi volume suaranya. Aku hanya tertawa.
“Apa kamu yakin? Sejak kapan dia menjadi Muslim?”
Semenjak sibuk dengan tugas akhir, kami seperti sibuk dengan dunia sendiri. Jarang sekali kami bertemu. Tak heran, kalau dalam setahun, dia bisa begitu terlihat berbeda. Wajah Mizuno, jauh terlihat lebih cerah dari biasanya.
“Jaga pandangan…”bisik Aisyah.
“Astaghfirullah…” Sontak aku menunduk. Terdengar suara cengengesan Aisyah.
Mendekati kelulusan… Aku menginap di dormnya Aisyah. Kami berkeluh kesah sepanjang malam. Besok adalah upacara kelulusan kami. Alhamdulillah kami berdua lulusnya bersamaan. Mizuno pun dengar-dengar juga lulus tahun ini.
Entah kenapa, semenjak mengetahui dia Muslim, Mizuno terlihat lebih mempesona. Aku benar-benar tidak berani menatapnya. Tapi… tak ada yang berubah dari Mizuno, dia tetap ceria, bercanda dengan teman-teman yang lain. Walaupun sekarang, Mizuno sedikit lebih menjaga pandangannya.
Entah kenapa ada yang masih mengingat kejadian setahun yang lalu. “Wah… ternyata kalian lulusnya barengan yah…Mizuna…hahahaha” Matsumoto mengawali kehebohan ini. Mizuna adalah singkatan dari Mizuno-Marliana… memang mereka terlalu kreatif.
Sontak semua teman-teman seperti dibangunkan dari tidur yang panjang. Ributnya minta ampun, mereka sampai harus diperingatkan untuk tenang. Mizuno anehnya hanya tertawa. Aku … hanya terdiam, Aisyah tertawa terpingkal-pingkal.
Acara kelulusan itu pun berjalan dengan lancar. Ada suatu kehebohan saat teman-teman cewek ribut ingin minta kancing baju Mizuno.
“Ah… kalian kayak anak kecil aja, kita udah Mahasiswa… masa masih kayak anak SMP, SMA, minta kancing baju, lucu banget!!” kata Matsumoto dengan suara lantang. Serentak teman-teman cewek mengejeknya.
“Huuuuu…. Dasar …bilang aja iri nggak ada yang minta kancing bajumu…wuuu… lagipula, mau masih SMP kek SMA kek, peduli amat, kalau emang kami mau minta, itu bukan urusanmu.” Narumi beradu pandang dengan Matsumoto. Mereka memang terkenal bagaikan kucing dan anjing. Selalu ribut.
Aku pun akhirnya ingat dengan kancing pemberian Hiro. Sampai sekarang aku tidak mengerti dengan makna dari pemberian kancing itu. Apakah cuma sebatas tanda persahabatan?
“Yah… baiklah itu emang bukan urusanku..tapi… seharusnya kalian ingat dong… yang lebih pantas dapetin kancing bajunya Hiro bukan kalian …tapi Marliana…. Iya kan Mizuno?”
Muka Mizuno langsung memerah, semua teman-teman baik cewek maupun cowok akhirnya tertawa terpingkal-pingkal. Aku hanya melongo. Mizuno melihatku dan kembali memberikan gesture minta maaf, aku pun kembali membalasnya, nggak apa-apa.
Hari kelulusan yang penuh tawa itu akhirnya berakhir dengan foto bersama, dan jahilnya, teman-teman itu berkerja sama mengerjai aku dan Mizuno. Mereka mendorongku dan Mizuno, lalu sekilas kami difoto dengan ekspresi yang nggak banget, baik aku dan Mizuno memalingkan wajah, dan jelas banget muka kami memerah.

2012
“Ummi… Elisa… udah hafal surat Al-Baqarah…” Elisa menyeringai memamerkan gigi mungilnya dan naik kepangkuanku.
“Subhanallah…Anak Ummi hebat yah..” Aku menciumi Elisa. Elisa tertawa geli. Batita ini sangat lucu, aku sangat gemas.
“Assalamu’alaikum…”
Mendengar suara Abi-nya Elisa langsung melompat dari pangkuanku… bergegas menyambut Abi-nya.
“Abi..!! Elisa udah hafal surat Al-Baqarah..” kembali memamerkan giginya.
“Subhanallah… Anak Abi hebat yah…” sambil menciumi Elisa.
Muka Elisa mengkerut…”Kok… Abi dan Ummi ngomongnya bisa sama gitu, kompakan gitu… hmmm… udah pada janjian yah? Ah… nggak seru..reaksinya sama…”
Aku saling pandang dengan Abi-nya Elisa… kami pun akhirnya tertawa.
Tak terasa 2 tahun telah berlalu… dua foto kelulusan kami yang diambil tanpa seijin kami itu sekarang terpajang dengan bingkai lucu di kamar kami.
Mizuno… alias Hiro. Ternyata setelah kelulusan melamarku. Tak kusangka, dia memendam ketertarikan padaku sudah lama. Seperti halnya aku, Hiro ternyata bertanya-bertanya tentangku, apakah aku benar teman masa kecilnya dulu.  Yang paling mengharukan adalah kenyataan bahwa dia tak melupakanku, dia hanya kehilangan alamatku saat akan pindah ke Osaka. Sejak saat itu dia tidak tahu lagi bagaimana harus menghubungiku.
Hal yang tak pernah kutahu tentang Hiro adalah ketertarikannya dengan Islam. Paling tidak semejak dia SMA dia sudah mulai mempelajari Islam. Baru setelah 6 tahun dia memantapkan diri sebagai muallaf, tak heran kalau dia langsung mendapatkan kepercayaan untuk mengumandangkan adzan saat itu.
Rencana melamarkupun ternyata bukanlah sesuatu yang mendadak. Ternyata Hiro telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dan memantapkan diri semenjak kasus memalukan yang dibuat oleh Aisyah.
Semua ini hanyalah bagaikan mimpi… Ternyata Mizuno adalah Hiro, dan Aisyah begitu bahagia dengan pernikahan kami. Dia sampai tak henti-hentinya menangis saat pernikahan kami berlangsung. Dia terlalu bahagia. Alhamdulillah dia pun akhirnya menikah bulan kemarin dengan seorang pria Turki. Denger-denger mereka dijodohkan, tapi Aisyah sepertinya tidak sedikitpun menolak. Dasar…. Pria itu melek agama, tampan, dan sangat baik,  tak heran Aisyah langsung menerima lamarannya.
“Lagi baca apa?” Hiro memperhatikan diariku…
Spontan aku menutupnya… “Nggak ada, hehe…”
Hiro hanya menghela nafas.,” Pasti isinya aku aja…” Katanya iseng.
Aku menjulurkan lidah…” Berharap yah…”
Aku segera menyegel buku diariku, tak ada yang boleh membacanya, Apalagi Hiro…:P…

FIN

 Sedikit curhatan penulis:

Akhirnya... cerita ini selesai ditulis juga, setelah tadi sempet GREGETAN karena NGGAK SENGAJA kehapus SEMUANYA, aku akhirnya harus menulis ulang, padahal waktu itu cerita udah setengah jalan.... SEBEL BANGET... tapi... Alhamdulillah Akhirnya SELESAI... pasti banyak kata-kata yang miss tapi mudahan inti ceritanya tersampaikan...Kenapa tiba-tiba ceritanya kayak gini yah..hahaha...
padahal awalnya nggak kepikir akhirnya bakalan kayak gini, bener-bener waktu nulis ngalir aja. Pasti belakangnya ini rada aneh, atau... emang dari awal rada aneh ya?? haha... yah dinikmatin aja...hehe... bisa jadi ini terinspirasi dari temen yang baru aja Nikah... Selamat Buat Saudariku Lu'Lu... Semoga Berkah yah pernikahannya :)