Aku tidak
begitu ingat dengan kelahiranku, tentu saja. Aku hanya dibekali beberapa foto
menjelang kelahiranku serta beberapa foto ketika aku masih kecil. Dengan semua
foto itu, aku bisa membayangkan bagaimana aku dulu sewaktu kecil. Aku pun
sering menguping pembicaraan Nee-chan dan Kaa-san kalau membahas masa kecilku.
Aku sendiri tak pernah menanyakannya secara langsung. Aku hanya mengetahui
tahun, tanggal dan bulan kelahiranku, serta nama lengkapku, selebihnya? Aku tidak
terlalu peduli. Oh ya… Namaku Hiro Mizuno.
1996
“Hajimemashite,
boku wa Hiro Mizuno desu, Douzo Yoroshiku Onegaishimasu!”
Aku berusaha untuk tetap tenang, menutupi
kegugupanku dengan senyum lebar dipaksakan. Aku baru pindah ke Indonesia, dan ini
adalah hari pertamaku masuk sekolah di tempat yang sangat asing bagiku. Wajah
asing, bahasa asing, aku tertekan. Badanku basah oleh keringatku yang terus
bercucuran, tapi aku tetap berdiri tegap di depan kelas, sambil memandagi
sekeliling kelas. Kenapa tak ada reaksi? Apa mereka mengerti yang aku ucapkan? Aduh
bagaimana ini? Aku sudah mulai gusar.
Hening…
Ku pandangi sensei, beliau hanya tersenyum,
terlihat sekali dipaksakan. Akhirnya senyum lebarku lenyap, aku menunduk lemas,
mukaku terasa panas, aku malu sekali. Aku sudah tidak sanggup lagi bersikap
tegar menatap wajah teman-teman baruku yang sedari tadi memelototiku tapi tidak
berkata apa-apa.
“Doumo,
Hiro Kun!” Seorang anak perempuan akhirnya memecahkan keheningan, sembari
tersenyum lebar sambil memamerkan dua gigi seri depannya yang hitam, menatapku
dengan ramah.
Entah kenapa, aku merasa terselamatkan. Aku
akhirnya bisa menepis kegundahanku sedari tadi. Ada yang mengerti bahasaku? Aku
sangat senang.
Begitulah awal pertemuanku dengan Risa. Sejak
saat itu, kami akhirnya menjadi teman yang cukup dekat. Gadis kecil yang ceria
ini, berusaha berbicara denganku menggunakan bahasa Jepang yang sama sekali tak
kupahami. Dia sering kewalahan berbicara denganku, tapi… dia tidak pernah
menyerah. Aku akhirnya termotivasi untuk bisa fasih berbahasa Indonesia, aku
harus bisa membuatnya nyaman denganku.
Awalnya aku memanggilnya Marliana, aku kira
itu nama keluarganya. Tapi… semua teman-teman cowok, bahkan senseipun memanggilnya Risa. Aku jadi
bingung. Ketika kutanyakan perihal itu ke Risa, dia hanya tertawa.
“Kau
bisa panggil aku Risa, seperti teman-teman yang lain…”
Aku berfikir, aku berharap bisa sedikit
merasa special jika memanggilnya dengan nama kecilnya tapi ternyata itu tidak
berlaku di sini. Aku terdiam. Aku ingin berbeda.
“Ah…
bagaimana kalau aku panggil kamu Liana, diambil dari Mar-Liana?”
Risa
mengerutkan kening,” Entahlah… kenapa kamu tidak ingin memanggilku Risa, tapi…
Liana? Bagus juga… berarti hanya Hiro yang memanggilku dengan nama ini!” Risa
tersenyum.
Betul
sekali. Kataku dalam hati, sambil tersenyum puas.
2000
Hari kelulusan… tak terasa, aku akhirnya
sudah benar-benar beradaptasi dengan lingkungan baruku. Nee-chan membangunkanku
dengan paksa, lebih sadis dari biasanya. Tanpa meminta persetujuanku, dia
memakaikanku minyak rambut Tou-San dalam jumlah yang mengerikan. Aku menolak
sejadi-jadinya, tapi… aku sudah cukup kesiangan. Aku akhirnya harus pergi
dengan perasaan tidak enak.
Sesampai di sekolah, aku melihat
teman-temanku didandanin lebih parah dariku, aku bisa bernafas lega.
Kepercayaan diriku kembali lagi, sampai… aku mendengar suara cekikikan yang
sangat mengganggu.
“Kenapa kamu melihatku sambil tertawa
begitu?” Kataku ke Liana.
“Hehe… sepertinya sepatumu kalah mengkilat
dah dari rambutmu…”Sambil menjulurkan lidah dia mengejekku dan segera berlari.
Shock… itulah yang kurasakan, badanku rasanya
baru ditimpa batu yang sangat berat. Kaku… badanku kaku. Kepercayaan diriku
seketika itu menjadi minus. Liana sepertinya menyadari keterpurukanku. Dia mendekatiku.
“Hiro?”
sapanya ragu.
Aku begitu malu, aku tidak ingin Liana
berfikir macam-macam tentangku, seperti takut nggak punya kesempatan untuk
mengungkapkannya aku berteriak tanpa sadar, “Ini kerjaan Natsumi-Chan!! Dia
memakaikanku terlalu banyak minyak rambut!!”
Liana diam, aku pun tak tahu harus bersikap
apa.
“Hiro! Risa! Cepat ke sini!” Untunglah Doni_ketua
kelas kami memanggil. Aku bisa bernafas lega. Kami pun segera berkumpul dengan
teman-teman lainnya.
Hari kelulusan itu diakhiri dengan sesi
foto-foto. Tanpa sepengetahuan Liana, aku meminta Rangga untuk mengambil fotoku
berdua dengannya. Tak kusangka, walaupun sudah kurencanakan, aku tetap saja
malu. Apalagi melihat muka Liana yang memerah. Kawaii..
Inilah saat yang kutunggu. Aku sudah
merencanakan ini jauh-jauh hari. Memberikan kancing bajuku, pada orang special.
Aku tahu, mungkin di sini, tradisi ini tidaklah lumrah, tapi… entahlah, aku
tetap ingin memberikan kancingku ke Liana, terserah bagaimana tanggapannya.
Sebelum pulang, aku memanggilnya. Mencoba bersikap biasa, menyembunyikan
tanganku yang berkeringat sedari tadi, aku menyodorkan kancing bajuku.
“Nih..”
Dia terdiam penuh tanda tanya. Aku jadi salah
tingkah. Aku telah menduga reaksi ini, tapi tak kusangka, aku akan speechless seperti ini.
“I-ini adalah tanda persahabatan kita. Hmm …
Kak Natsumi juga mendapatkan kancing baju dari temannya saat kelulusan.” Kataku
gugup.
Dia tertawa, “Ok.. Aku akan simpan ini
baik-baik. Sebagai tanda persahaban kita.”
“Yakusoku? Kamu nggak akan ngelupain aku kan
.. Liana-Chan?”
Kami pun membuat perjanjian dengan saling
mengaitkan kelingking. Hari yang indah.
2004
Tou-san pernah mengatakan sewaktu-waktu kami akan
pindah. Dan seminggu setelah kelulusan SD, ternyata waktu kepindahan itu tiba.
Aku benar-benar tidak pernah menyangka, perpisahanku dengan Liana akan secepat
itu. Aku berusaha membujuk Kaa-san dan Tou-san untuk memberiku ijin tinggal di
Indonesia, tapi… aku masih berusia 12 tahun saat itu, dan aku tak punya sanak
saudara di sini. Aku menangis semalam suntuk. Liana esoknya datang ke rumahku,
aku kira dia akan menghalangiku pergi. Tapi… dia malah memberiku bonekanya.
Kecewa? Tentu saja.
“Kita akan tentap saling kontak kan? Ini adalah boneka
kesayanganku, balasan dari kancing yang kamu berikan saat itu, kamu jaga yang
baik yah? Jangan lupain aku…” Aku berusaha untuk tersenyum.
Nee-chan ternyata mencuri dengar kata-kata Liana-chan.
“Apa? Hiro-Chan memberikan Risa-Chan kancing bajunya?” Nee chan melihatku
dengan muka tak percaya, aku sampai merinding, perasaanku tidak enak,
“Oh…ternyata kau ro..”belum sempat Nee-chan menyelesaikan kata-katanya, aku
segera bangkit membungkam mulutnya. “Haahahahahaha… betsuni Liana-Chan!...jangan
dengarkan nenek lampir ini.” Hampir saja, pikirku. Aku tidak mau Liana-chan
berfikir yang aneh tentangku. Aku akan pindah, jangan sampai aku memberikan
kesan yang tidak menyenangkan.
Aku tadinya sempat kecewa karena Liana-chan tidak
menunjukkan ekspresi kehilangan akan kepindahanku. Tapi, ketika kulihat dia
menangisi kepergianku, aku sedikit merasa senang.
Sudah 4 tahun yang lalu aku meninggalkan Indonesia.
Sesampai di Jepang, aku kembali mencoba beradaptasi. Rindu… aku rindu teman
SDku. Apalagi setiap aku memasuki kamarku, aku selalu disambut oleh boneka Teddy Bear usang yang duduk manis di
antara bantalku. Kayak cewek, pikirku, tapi aku tetap menyimpannya.
Setiap saat aku selalu ingin menulis surat untuknya.
Tapi… ketika aku pindah ke Osaka dua tahun yang lalu, aku kehilangan alamatnya.
Aku terlalu terburu-buru ketika membereskan barangku saat pindah. Aku sampai
melupakan hal penting itu. Surat yang selalu dia kirimkan pun aku lupa
membawanya. Semua tertinggal di Tokyo, ketika aku mencoba mencarinya kembali ke
sana, pemilik baru rumah yang kutempati dulu itu tidak memberiku izin untuk
masuk. Mereka terlihat terganggu dengan kedatanganku. Alhasil.. kami tidak
berhubungan lagi selama aku tinggal di Osaka.
2006
Sudah 4 tahun kami tidak berhubungan lagi. Aku sering
berfikir apakah dia sudah melupakanku? Aku bahkan tidak percaya diri lagi untuk
bertemu dengannya, aku takut jika kami bertemu dia tidak akan mengenaliku. Dia
benar-benar tak bisa lenyap dari pikiranku. Aku telah melewati masa-masa virus
merah jambu berkembang yaitu masa SMP dan SMA, tapi… sampai detik ini, tak ada
yang bisa menggantikan Liana di pikiranku. Aku sering dibilang bodoh oleh
teman-temanku karena menolak cewek terpopuler disekolah. Tapi… mau bagaimana
lagi? Aku tidak ingin berpura-pura menyukai seseorang, sedangkan aku bahkan
tidak sedikitpun memiliki ketertarikan untuk menjalin hubungan.
Satu hal yang tak pernah kulupakan dari sosok Liana,
adalah kain yang selalu menutupi kepalanya. Dulunya aku tidak terlalu
memperhatikan tampilannya yang berbeda, karena hampir semua teman-teman
perempuanku bahkan sensei pun
mengenakannya. Hanya saja, sesampai di Jepang, penampilan seperti itu jarang
kutemukan. Aku pun mulai mencoba mencari berbagai informasi mengenai hal
tersebut. Itulah awal aku mulai mengenal tentang Islam. Aku begitu tertarik,
ditambah lagi, ketika aku berteman dengan Hasan semasa SMA. Hasan banyak
memberikanku informasi tentang Islam, memberikan berbagai rekomendasi, arahan
apa yang harus aku lakukan untuk menyelami Islam. Ilmuku sering kutularkan ke
Tou-san, Kaa-san bahkan Nee-chan, mereka senang melihat perubahanku semenjak
mempelajari Islam. Nee-chan malah mendahuluiku memeluk Islam dan tak lama
setelahnya menikahi seorang muslim Inggris sebulan yang lalu, entah bagaimana
ceritanya. Yang pasti, Kaa-san yang begitu dekat dengan Nee-chan juga
menunjukkan ketertarikannya, tapi belum memantapkan hati begitu pula Tou-san yang
terpengaruh oleh Kaa-san.
Aku dan Hasan mengambil jurusan yang berbeda semasa
kuliah, jadi kami jarang bertemu, namun kami tetap berhubungan. Hasan kerap
kali mengajakku mengikuti kajian. Dari sanalah aku terus menambah ilmuku
tentang Islam.
Musim gugur… aku sangat suka musim ini. Aku senang
melihat daun-daun yang berguguran terbawa angin. Hari itu, Matsuoka mengajakku
keluar. Kami memutuskan untuk berlari pagi di taman sambil menikmati daun-daun
yang berguguran. Kami asyik mengobrol sampai langkah kami terhenti karena
seorang perempuan yang tiba-tiba menatap dan memandangi kami. Mata kami sempat bertemu,
tapi ternyata dia mengalihkan pandangannya.
Tidak asing, pikirku. Wajahnya sepertinya tidak asing.
Apakah karena aku kerap melihat gadis berkerudung, sehingga membuatku merasa
dia tidak asing? Entahlah… hanya saja ada perasaan yang berbeda.
Liana…? Tidak mungkin?
2007
Setelah sempat bertemu dengan gadis yang kuharapkan
adalah Liana. Ternyata, aku mendapati gadis itu menjadi teman sekelasku.
Namanya? Risa Marliana.
Liana? Aku tidak berani mempercayai sesuatu yang
terlalu kebetulan ini. Tidak… tentu saja yang memiliki nama seperti itu
tidaklah hanya satu orang. Dia dari Indonesia, dia berkerudung… segala macam
hal memenuhi pikiranku. Semuanya sesuai, aku mungkin saja akan langsung
memperkenalkan diri, “ Hei, Liana… ini aku Hiro.. kamu masih ingat?”
Tidak… semakin aku mau memantapkan diriku, semakin aku
ragu. Aku terlalu pengecut untuk mempercayai semua yang sangat kebetulan ini.
Aku takut dia bukanlah Liana, kalau iya, aku takut dia tidak mengingatku.
Setahun berlalu semenjak kami menjadi teman sekelas,
dan aku masih bisu, tak berani menyapanya sebagai Hiro. Terkadang aku yakin
kalau dia Liana, tapi tak jarang aku ragu. Dia tidak seceria Liana yang
kukenal. Oke… manusia bisa berubah, tapi… aku takut kalau aku terlalu berharap
itu dia. Yang kulakukan hanya menatapnya diam-diam.
Aku terkadang menyapanya. Sikapku harus sama pada
semua teman. Jangan sampai dia merasa aku tidak ramah padanya. Padahal aslinya
aku begitu gugup jika berdekatan dengannya. Mungkin dia tidak menyadarinya.
Sikapku padanya dan pada teman-teman perempuan yang lain jelas berbeda.
Matsuoka, temanku sedari SMP saja yang menyadari
sikapku yang sedikit aneh. Dia selalu berusaha mngorek keterangan dari sikapku
yang sedikit berbeda setiap kali berada di dekat Liana. Akhirnya aku menyerah,
untung dia bisa menjaga rahasia.
2009
Hal yang tak pernah kuduga. Teriakan Aisyah pagi itu,
benar-benar memantapkan hatiku.
“Apa?! Hahaha… Kamu menganggap Mizuno-kun mempesona?!”
DEG… mempesona? Aku? Dare? Siapa yang mengatakan hal
itu? Dengan perasaan campur aduk aku membalikkan badan. Tak sadar mataku
mengarah ke Liana yang sedang berusaha membungkan mulut Aisyah.
Liana? Diakah yang menganggapku… spontan mukaku terasa
panas. Oh tidak… …jantungku berdegup keras sekali.
“Wow… Kamu punya penggemar rahasia Hiro…” Matsuoka
terlihat sangat bahagia, dia akhirnya bisa menunjukkan taringnya. Setelah 2
tahun bungkam.
Kelas seketika itu ribut tak terkendali. Mereka
menertawakan reaksiku dan mukaku yang memerah. Aku terdiam. Tidak… tepatnya…
aku KO. Aku akhirnya memantapkan
diriku untuk melamarnya. Hanya dia yang membuatku merasa begini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Teman-teman yang lainnya semenjak saat itu, jadi
sering mengolok kami. Mereka sampai menyingkat nama kami menjadi MizuNa
(Mizuno-Marliana). Aku jadi tambah gugup saja. Melihat Liana yang kerap
menunjukkan muka tidak nyaman,aku sering mencari celah menyapanya, dan meminta
maaf dengan bahasa tubuh. Aku sangat senang jika dia membalasku.
Lama kelamaan kelas kembali tenang. Aku akhirnya bisa
sedikit konsentrasi dengan tugas akhirku.
Tahun itu, aku memantapkan diriku sebagai muallaf. Kaa-san
maupun Tou-san juga mengikuti jejakku. Melihatku yang memantapkan diri, mereka
ternyata tak mau kalah. Nee-chan yang mengetahui hal ini begitu bahagia.
2010
Hari itu, seperti biasa aku pergi ke Masjid. Tapi … untuk
pertama kalinya, aku diberi kehormatan untuk mengumandangkan Adzan. Aku sedikit
ragu awalnya. Aku memang terkadang latihan
di rumah, bersama Hasan. Tapi… tetap saja aku gugup.
Aku menghela nafas… Bismillah… ternyata aku bisa
mengumandangkan adzan dengan lancar. Semua tersenyum puas menatapku, Hasan
bahkan menepuk pundakku memberi selamat. Aku senang… sangat senang.
Semenjak memantapkan diri ingin melamar Liana, aku
sering berkonsultasi dengan Hasan dan Murobbiku. Aku diberi banyak penngarahan
dan persiapan. Selama itu, aku berusaha untuk menjaga diriku.
Aku berusaha untuk bersikap seperti biasa. Walaupun
aku merasa banyak yang berubah dengan diriku, tapi… aku tetap seperti aku yang
dulu. Alhamdulillah teman-temanku tidak terlalu memperhatikan perubahan yang
berarti di diriku.
Mendekati kelulusan… Aku semakin mantap saja. Perihal
ini bukanlah suatu yang rahasia lagi di keluargaku. Kaa-san dan Tou-san bahkan
Nee-chan sangat mendukung. Aku menjadi lebih tak sabar lagi.
“Wah… kamu pasti senang yah, kalian lulusnya bareng.”
Matsuoka menyenggolku.
“Apa-apaan sih.” Aku mencoba cool.
“Hahahahah telingamu merah tuh… ah dasar…”Matsuoka
terus mengejekku.
Baru saja Matsuoka selesai dengan ocehannya, tiba-tiba
giliran Matsumoto yang sepertinya ingin berulah.
“Wah… ternyata
kalian lulusnya barengan yah…Mizuna…hahahaha”
Suasana seketika itu menjadi ramai, berkali-kali
mereka diberi peringatan. Lucu, pikirku. Aku pun tanpa sadar tertawa, tapi
ketika melihat Liana yang malah terdiam, spontan nafsu ketawaku hilang.
Acara kelulusan itu pun berjalan dengan lancar. Hanya
saja, aku tidak menyangka. Aku begitu popular sampai teman-teman cewek ribut ingin
minta kancing bajuku.
“Ah… kalian kayak anak kecil aja, kita udah Mahasiswa…
masa masih kayak anak SMP, SMA, minta kancing baju, lucu banget!!” kata
Matsumoto dengan suara lantang. Serentak teman-teman cewek mengejeknya.
“Huuuuu…. Dasar …bilang aja iri nggak ada yang minta
kancing bajumu…wuuu… lagipula, mau masih SMP kek SMA kek, peduli amat, kalau
emang kami mau minta, itu bukan urusanmu.” Narumi beradu pandang dengan
Matsumoto.
Seketika itu aku ingat dengan kancing yang kuberikan
pada Liana, apa dia masih menyimpannya? Atau malah sudah melupakannya? Ah… aku
tidak mau memikirkannya.
“Yah… baiklah
itu emang bukan urusanku..tapi… seharusnya kalian ingat dong… yang lebih pantas
dapetin kancing bajunya Hiro bukan kalian …tapi Marliana…. Iya kan Mizuno?”
Aku sangat terkejut dengan pernyataan Matsumoto. Apa-apaan
ini! Aku benar-beanr tidak bisa menyembunyikan mukaku yang memerah, aku benar-benar
malu. Parahnya mereka menikmati kelemahanku ini, semua teman-teman baik cewek
maupun cowok tertawa terpingkal-pingkal. Aku bukan badut! Hello! Aku akhirnya
berusaha memberikan permintaan maaf lagi ke Liana dengan bahasa tubuh, melihat
mukanya yang mengkerut. Dia membalas tidak apa-apa, tapi jelas terlihat dia
tidak nyaman.
Hari kelulusan yang penuh
tawa itu akhirnya berakhir dengan foto bersama, dan jahilnya, teman-teman itu
berkerja sama mengerjaiku dan Liana. Tidak seperti sewaktu SD, ini diluar
rencanaku. Mereka mendorongku dan Liana, lalu sekilas kami difoto. Aku tidak
bisa bergaya keren, aku terlalu gugup. Payah…
2012
Muka Elisa mengkerut…”Kok… Abi dan Ummi ngomongnya
bisa sama gitu, kompakan gitu… hmmm… udah pada janjian yah? Ah… nggak
seru..reaksinya sama…”
Aku kaget dengan pernyataan Elisa. Anak mungilku yang
sangat aktif.
Aku saling pandang dengan Liana… kami pun akhirnya
tertawa.
2 Tahun telah berlalu semenjak aku akhirnya memutuskan
untuk menikahi Liana. Dia terlihat begitu kaget melihatku mendatangi rumahnya. Aku
merasa bersalah tidak mengabarinya terlebih dahulu. Dia baru benar-benar
menunjukkan kekesalannya setahun setelah pernikahan kami. Untungnya dia
menerimaku, kalau tidak, aku akan sangat malu.
Tak kusangka, Liana ternyata juga ragu menyapaku,
karena takut aku bukanlah Hiro yang dia kenal dulu. Sedikit merasa senang, dia
ternyata tidak melupakanku. Sekarang kalau kami membicarakan semua ini, kami
pasti akan tertawa mengingat kekakuan kami. Liana ternyata tak pernah menyangka
aku Hiro karena menurutnya aku begitu populer dan ceria. Padahal keceriaanku
itu berasal darinya, aku tertular olehnya.
Aku sangat senang, cinta pertamaku akhirnya menjadi
Istriku. Kehadiran Elisa menambah keceriaan kami, anak mungil yang sangat
senang membaca Al-Quran ini membuat kami tak henti-hentinya bersyuukur.
Sebulan setelah pernikahanku, aku mendapat undangan
dari Hasan. Dia mendapatkan gadis Lebanon. Ketika aku mengomentari Istri Hasan
yang cantik, Liana entah kenapa mencubitku sakit sekali. Apa dia cemburu? Ck ck
ck… dasar wanita. Cuma mau menyenangkan hati teman aja dia pakai bawa perasaan
segala. Hasan hanya cekikikan.
Aku tanpa sengaja melihat sebuah buku tergeletak di
atas tempat tidur pagi itu. Sebenarnya mau kurapikan, tapi… tak sengaja aku
melihat namaku ditulis berkali-kali. Aku jadinya penasaran. Tanpa sepengetahuan
Liana aku membaca diarinya. Maaf ya …
Esoknya aku mendapatinya membaca buku diarinya.
Dengan wajah tanpa dosa, aku bertanya,“Lagi baca apa?”
Spontan dia menutupnya… “Nggak ada, hehe…”
Aku mencoba memancingnya,” Pasti isinya aku aja…”
Kataku iseng.
Dia malah menjulurkan lidah…” Berharap yah…” sahutnya.
Aku hanya tersenyum.
FIN
aaaa~ aaaaa~ aaaak >,< *pdhl cuma mau komen begini, krn sudah suka sama yg sebelumnya*
BalasHapustp sebagai komen tambahan, jalan cerita tetep keren, isi ceritanya yg hebat..apalagi kurang dari dua tahun Elisa sudah hafal Al-Baqarah, *Yuri umur segitu belum lancar ngomong* tp itulah kelebihannya fiksi ndk ada yg ndk mungkin...tp sy suka..
wah lucu banget baca kata2nya Rany yang ini..."tp itulah kelebihannya fiksi ndk ada yg ndk mungkin"...tapi emang bener..itulah dahsyatnya fiksi... semua yang nggak mungkin.. jadi sangat mungkin..hahaha mau nulis keliling dunia aja...guampang,hehe
Hapusmenarik,,,,,,,
BalasHapusgomapsumnida ... :)
Hapus