Selasa, 30 Oktober 2012

Tahun-tahun Kisahku (Rahasia Hiro)

1988
            Aku tidak begitu ingat dengan kelahiranku, tentu saja. Aku hanya dibekali beberapa foto menjelang kelahiranku serta beberapa foto ketika aku masih kecil. Dengan semua foto itu, aku bisa membayangkan bagaimana aku dulu sewaktu kecil. Aku pun sering menguping pembicaraan Nee-chan dan Kaa-san kalau membahas masa kecilku. Aku sendiri tak pernah menanyakannya secara langsung. Aku hanya mengetahui tahun, tanggal dan bulan kelahiranku, serta nama lengkapku, selebihnya? Aku tidak terlalu peduli. Oh ya… Namaku Hiro Mizuno.

1996
Hajimemashite, boku wa Hiro Mizuno desu, Douzo Yoroshiku Onegaishimasu!”
Aku berusaha untuk tetap tenang, menutupi kegugupanku dengan senyum lebar dipaksakan. Aku baru pindah ke Indonesia, dan ini adalah hari pertamaku masuk sekolah di tempat yang sangat asing bagiku. Wajah asing, bahasa asing, aku tertekan. Badanku basah oleh keringatku yang terus bercucuran, tapi aku tetap berdiri tegap di depan kelas, sambil memandagi sekeliling kelas. Kenapa tak ada reaksi? Apa mereka mengerti yang aku ucapkan? Aduh bagaimana ini? Aku sudah mulai gusar.
Hening…
Ku pandangi sensei, beliau hanya tersenyum, terlihat sekali dipaksakan. Akhirnya senyum lebarku lenyap, aku menunduk lemas, mukaku terasa panas, aku malu sekali. Aku sudah tidak sanggup lagi bersikap tegar menatap wajah teman-teman baruku yang sedari tadi memelototiku tapi tidak berkata apa-apa.
Doumo, Hiro Kun!” Seorang anak perempuan akhirnya memecahkan keheningan, sembari tersenyum lebar sambil memamerkan dua gigi seri depannya yang hitam, menatapku dengan ramah.
Entah kenapa, aku merasa terselamatkan. Aku akhirnya bisa menepis kegundahanku sedari tadi. Ada yang mengerti bahasaku? Aku sangat senang.
Begitulah awal pertemuanku dengan Risa. Sejak saat itu, kami akhirnya menjadi teman yang cukup dekat. Gadis kecil yang ceria ini, berusaha berbicara denganku menggunakan bahasa Jepang yang sama sekali tak kupahami. Dia sering kewalahan berbicara denganku, tapi… dia tidak pernah menyerah. Aku akhirnya termotivasi untuk bisa fasih berbahasa Indonesia, aku harus bisa membuatnya nyaman denganku.
Awalnya aku memanggilnya Marliana, aku kira itu nama keluarganya. Tapi… semua teman-teman cowok, bahkan senseipun memanggilnya Risa. Aku jadi bingung. Ketika kutanyakan perihal itu ke Risa, dia hanya tertawa.
            “Kau bisa panggil aku Risa, seperti teman-teman yang lain…”
Aku berfikir, aku berharap bisa sedikit merasa special jika memanggilnya dengan nama kecilnya tapi ternyata itu tidak berlaku di sini. Aku terdiam. Aku ingin berbeda.
            “Ah… bagaimana kalau aku panggil kamu Liana, diambil dari Mar-Liana?”
            Risa mengerutkan kening,” Entahlah… kenapa kamu tidak ingin memanggilku Risa, tapi… Liana? Bagus juga… berarti hanya Hiro yang memanggilku dengan nama ini!” Risa tersenyum.
            Betul sekali. Kataku dalam hati, sambil tersenyum puas. 

2000
Hari kelulusan… tak terasa, aku akhirnya sudah benar-benar beradaptasi dengan lingkungan baruku. Nee-chan membangunkanku dengan paksa, lebih sadis dari biasanya. Tanpa meminta persetujuanku, dia memakaikanku minyak rambut Tou-San dalam jumlah yang mengerikan. Aku menolak sejadi-jadinya, tapi… aku sudah cukup kesiangan. Aku akhirnya harus pergi dengan perasaan tidak enak.
Sesampai di sekolah, aku melihat teman-temanku didandanin lebih parah dariku, aku bisa bernafas lega. Kepercayaan diriku kembali lagi, sampai… aku mendengar suara cekikikan yang sangat mengganggu.
“Kenapa kamu melihatku sambil tertawa begitu?” Kataku ke Liana.
“Hehe… sepertinya sepatumu kalah mengkilat dah dari rambutmu…”Sambil menjulurkan lidah dia mengejekku dan segera berlari.
Shock… itulah yang kurasakan, badanku rasanya baru ditimpa batu yang sangat berat. Kaku… badanku kaku. Kepercayaan diriku seketika itu menjadi minus. Liana sepertinya menyadari keterpurukanku. Dia mendekatiku.
“Hiro?” sapanya ragu.
Aku begitu malu, aku tidak ingin Liana berfikir macam-macam tentangku, seperti takut nggak punya kesempatan untuk mengungkapkannya aku berteriak tanpa sadar, “Ini kerjaan Natsumi-Chan!! Dia memakaikanku terlalu banyak minyak rambut!!”
Liana diam, aku pun tak tahu harus bersikap apa.
“Hiro! Risa! Cepat ke sini!” Untunglah Doni_ketua kelas kami memanggil. Aku bisa bernafas lega. Kami pun segera berkumpul dengan teman-teman lainnya.
Hari kelulusan itu diakhiri dengan sesi foto-foto. Tanpa sepengetahuan Liana, aku meminta Rangga untuk mengambil fotoku berdua dengannya. Tak kusangka, walaupun sudah kurencanakan, aku tetap saja malu. Apalagi melihat muka Liana yang memerah. Kawaii..
Inilah saat yang kutunggu. Aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Memberikan kancing bajuku, pada orang special. Aku tahu, mungkin di sini, tradisi ini tidaklah lumrah, tapi… entahlah, aku tetap ingin memberikan kancingku ke Liana, terserah bagaimana tanggapannya. Sebelum pulang, aku memanggilnya. Mencoba bersikap biasa, menyembunyikan tanganku yang berkeringat sedari tadi, aku menyodorkan kancing bajuku.
“Nih..”
Dia terdiam penuh tanda tanya. Aku jadi salah tingkah. Aku telah menduga reaksi ini, tapi tak kusangka, aku akan speechless seperti ini.
“I-ini adalah tanda persahabatan kita. Hmm … Kak Natsumi juga mendapatkan kancing baju dari temannya saat kelulusan.” Kataku gugup.
Dia tertawa, “Ok.. Aku akan simpan ini baik-baik. Sebagai tanda persahaban kita.”
“Yakusoku? Kamu nggak akan ngelupain aku kan .. Liana-Chan?”
Kami pun membuat perjanjian dengan saling mengaitkan kelingking. Hari yang indah.

2004
Tou-san pernah mengatakan sewaktu-waktu kami akan pindah. Dan seminggu setelah kelulusan SD, ternyata waktu kepindahan itu tiba. Aku benar-benar tidak pernah menyangka, perpisahanku dengan Liana akan secepat itu. Aku berusaha membujuk Kaa-san dan Tou-san untuk memberiku ijin tinggal di Indonesia, tapi… aku masih berusia 12 tahun saat itu, dan aku tak punya sanak saudara di sini. Aku menangis semalam suntuk. Liana esoknya datang ke rumahku, aku kira dia akan menghalangiku pergi. Tapi… dia malah memberiku bonekanya. Kecewa? Tentu saja.
“Kita akan tentap saling kontak kan? Ini adalah boneka kesayanganku, balasan dari kancing yang kamu berikan saat itu, kamu jaga yang baik yah? Jangan lupain aku…” Aku berusaha untuk tersenyum.
Nee-chan ternyata mencuri dengar kata-kata Liana-chan. “Apa? Hiro-Chan memberikan Risa-Chan kancing bajunya?” Nee chan melihatku dengan muka tak percaya, aku sampai merinding, perasaanku tidak enak, “Oh…ternyata kau ro..”belum sempat Nee-chan menyelesaikan kata-katanya, aku segera bangkit membungkam mulutnya. “Haahahahahaha… betsuni Liana-Chan!...jangan dengarkan nenek lampir ini.” Hampir saja, pikirku. Aku tidak mau Liana-chan berfikir yang aneh tentangku. Aku akan pindah, jangan sampai aku memberikan kesan yang tidak menyenangkan.
Aku tadinya sempat kecewa karena Liana-chan tidak menunjukkan ekspresi kehilangan akan kepindahanku. Tapi, ketika kulihat dia menangisi kepergianku, aku sedikit merasa senang.
Sudah 4 tahun yang lalu aku meninggalkan Indonesia. Sesampai di Jepang, aku kembali mencoba beradaptasi. Rindu… aku rindu teman SDku. Apalagi setiap aku memasuki kamarku, aku selalu disambut oleh boneka Teddy Bear usang yang duduk manis di antara bantalku. Kayak cewek, pikirku, tapi aku tetap menyimpannya.
Setiap saat aku selalu ingin menulis surat untuknya. Tapi… ketika aku pindah ke Osaka dua tahun yang lalu, aku kehilangan alamatnya. Aku terlalu terburu-buru ketika membereskan barangku saat pindah. Aku sampai melupakan hal penting itu. Surat yang selalu dia kirimkan pun aku lupa membawanya. Semua tertinggal di Tokyo, ketika aku mencoba mencarinya kembali ke sana, pemilik baru rumah yang kutempati dulu itu tidak memberiku izin untuk masuk. Mereka terlihat terganggu dengan kedatanganku. Alhasil.. kami tidak berhubungan lagi selama aku tinggal di Osaka. 

2006
Sudah 4 tahun kami tidak berhubungan lagi. Aku sering berfikir apakah dia sudah melupakanku? Aku bahkan tidak percaya diri lagi untuk bertemu dengannya, aku takut jika kami bertemu dia tidak akan mengenaliku. Dia benar-benar tak bisa lenyap dari pikiranku. Aku telah melewati masa-masa virus merah jambu berkembang yaitu masa SMP dan SMA, tapi… sampai detik ini, tak ada yang bisa menggantikan Liana di pikiranku. Aku sering dibilang bodoh oleh teman-temanku karena menolak cewek terpopuler disekolah. Tapi… mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin berpura-pura menyukai seseorang, sedangkan aku bahkan tidak sedikitpun memiliki ketertarikan untuk menjalin hubungan.
Satu hal yang tak pernah kulupakan dari sosok Liana, adalah kain yang selalu menutupi kepalanya. Dulunya aku tidak terlalu memperhatikan tampilannya yang berbeda, karena hampir semua teman-teman perempuanku bahkan sensei pun mengenakannya. Hanya saja, sesampai di Jepang, penampilan seperti itu jarang kutemukan. Aku pun mulai mencoba mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Itulah awal aku mulai mengenal tentang Islam. Aku begitu tertarik, ditambah lagi, ketika aku berteman dengan Hasan semasa SMA. Hasan banyak memberikanku informasi tentang Islam, memberikan berbagai rekomendasi, arahan apa yang harus aku lakukan untuk menyelami Islam. Ilmuku sering kutularkan ke Tou-san, Kaa-san bahkan Nee-chan, mereka senang melihat perubahanku semenjak mempelajari Islam. Nee-chan malah mendahuluiku memeluk Islam dan tak lama setelahnya menikahi seorang muslim Inggris sebulan yang lalu, entah bagaimana ceritanya. Yang pasti, Kaa-san yang begitu dekat dengan Nee-chan juga menunjukkan ketertarikannya, tapi belum memantapkan hati begitu pula Tou-san yang terpengaruh oleh Kaa-san.
Aku dan Hasan mengambil jurusan yang berbeda semasa kuliah, jadi kami jarang bertemu, namun kami tetap berhubungan. Hasan kerap kali mengajakku mengikuti kajian. Dari sanalah aku terus menambah ilmuku tentang Islam.
Musim gugur… aku sangat suka musim ini. Aku senang melihat daun-daun yang berguguran terbawa angin. Hari itu, Matsuoka mengajakku keluar. Kami memutuskan untuk berlari pagi di taman sambil menikmati daun-daun yang berguguran. Kami asyik mengobrol sampai langkah kami terhenti karena seorang perempuan yang tiba-tiba menatap dan memandangi kami. Mata kami sempat bertemu, tapi ternyata dia mengalihkan pandangannya.
Tidak asing, pikirku. Wajahnya sepertinya tidak asing. Apakah karena aku kerap melihat gadis berkerudung, sehingga membuatku merasa dia tidak asing? Entahlah… hanya saja ada perasaan yang berbeda. 

Liana…? Tidak mungkin? 

2007
Setelah sempat bertemu dengan gadis yang kuharapkan adalah Liana. Ternyata, aku mendapati gadis itu menjadi teman sekelasku. Namanya? Risa Marliana.
Liana? Aku tidak berani mempercayai sesuatu yang terlalu kebetulan ini. Tidak… tentu saja yang memiliki nama seperti itu tidaklah hanya satu orang. Dia dari Indonesia, dia berkerudung… segala macam hal memenuhi pikiranku. Semuanya sesuai, aku mungkin saja akan langsung memperkenalkan diri, “ Hei, Liana… ini aku Hiro.. kamu masih ingat?”
Tidak… semakin aku mau memantapkan diriku, semakin aku ragu. Aku terlalu pengecut untuk mempercayai semua yang sangat kebetulan ini. Aku takut dia bukanlah Liana, kalau iya, aku takut dia tidak mengingatku.
Setahun berlalu semenjak kami menjadi teman sekelas, dan aku masih bisu, tak berani menyapanya sebagai Hiro. Terkadang aku yakin kalau dia Liana, tapi tak jarang aku ragu. Dia tidak seceria Liana yang kukenal. Oke… manusia bisa berubah, tapi… aku takut kalau aku terlalu berharap itu dia. Yang kulakukan hanya menatapnya diam-diam.
Aku terkadang menyapanya. Sikapku harus sama pada semua teman. Jangan sampai dia merasa aku tidak ramah padanya. Padahal aslinya aku begitu gugup jika berdekatan dengannya. Mungkin dia tidak menyadarinya. Sikapku padanya dan pada teman-teman perempuan yang lain jelas berbeda.
Matsuoka, temanku sedari SMP saja yang menyadari sikapku yang sedikit aneh. Dia selalu berusaha mngorek keterangan dari sikapku yang sedikit berbeda setiap kali berada di dekat Liana. Akhirnya aku menyerah, untung dia bisa menjaga rahasia.

2009
Hal yang tak pernah kuduga. Teriakan Aisyah pagi itu, benar-benar memantapkan hatiku.
“Apa?! Hahaha… Kamu menganggap Mizuno-kun mempesona?!”
DEG… mempesona? Aku? Dare? Siapa yang mengatakan hal itu? Dengan perasaan campur aduk aku membalikkan badan. Tak sadar mataku mengarah ke Liana yang sedang berusaha membungkan mulut Aisyah.
Liana? Diakah yang menganggapku… spontan mukaku terasa panas. Oh tidak… …jantungku berdegup keras sekali.
“Wow… Kamu punya penggemar rahasia Hiro…” Matsuoka terlihat sangat bahagia, dia akhirnya bisa menunjukkan taringnya. Setelah 2 tahun bungkam.
Kelas seketika itu ribut tak terkendali. Mereka menertawakan reaksiku dan mukaku yang memerah. Aku terdiam. Tidak… tepatnya… aku KO. Aku akhirnya memantapkan diriku untuk melamarnya. Hanya dia yang membuatku merasa begini.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Teman-teman yang lainnya semenjak saat itu, jadi sering mengolok kami. Mereka sampai menyingkat nama kami menjadi MizuNa (Mizuno-Marliana). Aku jadi tambah gugup saja. Melihat Liana yang kerap menunjukkan muka tidak nyaman,aku sering mencari celah menyapanya, dan meminta maaf dengan bahasa tubuh. Aku sangat senang jika dia membalasku.
Lama kelamaan kelas kembali tenang. Aku akhirnya bisa sedikit konsentrasi dengan tugas akhirku.
Tahun itu, aku memantapkan diriku sebagai muallaf. Kaa-san maupun Tou-san juga mengikuti jejakku. Melihatku yang memantapkan diri, mereka ternyata tak mau kalah. Nee-chan yang mengetahui hal ini begitu bahagia.

2010
Hari itu, seperti biasa aku pergi ke Masjid. Tapi … untuk pertama kalinya, aku diberi kehormatan untuk mengumandangkan Adzan. Aku sedikit ragu awalnya. Aku memang  terkadang latihan di rumah, bersama Hasan. Tapi… tetap saja aku gugup.
Aku menghela nafas… Bismillah… ternyata aku bisa mengumandangkan adzan dengan lancar. Semua tersenyum puas menatapku, Hasan bahkan menepuk pundakku memberi selamat. Aku senang… sangat senang.
Semenjak memantapkan diri ingin melamar Liana, aku sering berkonsultasi dengan Hasan dan Murobbiku. Aku diberi banyak penngarahan dan persiapan. Selama itu, aku berusaha untuk menjaga diriku.
Aku berusaha untuk bersikap seperti biasa. Walaupun aku merasa banyak yang berubah dengan diriku, tapi… aku tetap seperti aku yang dulu. Alhamdulillah teman-temanku tidak terlalu memperhatikan perubahan yang berarti di diriku.
Mendekati kelulusan… Aku semakin mantap saja. Perihal ini bukanlah suatu yang rahasia lagi di keluargaku. Kaa-san dan Tou-san bahkan Nee-chan sangat mendukung. Aku menjadi lebih tak sabar lagi. 
“Wah… kamu pasti senang yah, kalian lulusnya bareng.” Matsuoka menyenggolku.
“Apa-apaan sih.” Aku mencoba cool.
“Hahahahah telingamu merah tuh… ah dasar…”Matsuoka terus mengejekku.
Baru saja Matsuoka selesai dengan ocehannya, tiba-tiba giliran Matsumoto yang sepertinya ingin berulah.
 “Wah… ternyata kalian lulusnya barengan yah…Mizuna…hahahaha”
Suasana seketika itu menjadi ramai, berkali-kali mereka diberi peringatan. Lucu, pikirku. Aku pun tanpa sadar tertawa, tapi ketika melihat Liana yang malah terdiam, spontan nafsu ketawaku hilang.
Acara kelulusan itu pun berjalan dengan lancar. Hanya saja, aku tidak menyangka. Aku begitu popular sampai teman-teman cewek ribut ingin minta kancing bajuku.
“Ah… kalian kayak anak kecil aja, kita udah Mahasiswa… masa masih kayak anak SMP, SMA, minta kancing baju, lucu banget!!” kata Matsumoto dengan suara lantang. Serentak teman-teman cewek mengejeknya.
“Huuuuu…. Dasar …bilang aja iri nggak ada yang minta kancing bajumu…wuuu… lagipula, mau masih SMP kek SMA kek, peduli amat, kalau emang kami mau minta, itu bukan urusanmu.” Narumi beradu pandang dengan Matsumoto.
Seketika itu aku ingat dengan kancing yang kuberikan pada Liana, apa dia masih menyimpannya? Atau malah sudah melupakannya? Ah… aku tidak mau memikirkannya.
 “Yah… baiklah itu emang bukan urusanku..tapi… seharusnya kalian ingat dong… yang lebih pantas dapetin kancing bajunya Hiro bukan kalian …tapi Marliana…. Iya kan Mizuno?”
Aku sangat terkejut dengan pernyataan Matsumoto. Apa-apaan ini! Aku benar-beanr tidak bisa menyembunyikan mukaku yang memerah, aku benar-benar malu. Parahnya mereka menikmati kelemahanku ini, semua teman-teman baik cewek maupun cowok tertawa terpingkal-pingkal. Aku bukan badut! Hello! Aku akhirnya berusaha memberikan permintaan maaf lagi ke Liana dengan bahasa tubuh, melihat mukanya yang mengkerut. Dia membalas tidak apa-apa, tapi jelas terlihat dia tidak nyaman.
Hari kelulusan yang penuh tawa itu akhirnya berakhir dengan foto bersama, dan jahilnya, teman-teman itu berkerja sama mengerjaiku dan Liana. Tidak seperti sewaktu SD, ini diluar rencanaku. Mereka mendorongku dan Liana, lalu sekilas kami difoto. Aku tidak bisa bergaya keren, aku terlalu gugup. Payah…

2012
Muka Elisa mengkerut…”Kok… Abi dan Ummi ngomongnya bisa sama gitu, kompakan gitu… hmmm… udah pada janjian yah? Ah… nggak seru..reaksinya sama…”
Aku kaget dengan pernyataan Elisa. Anak mungilku yang sangat aktif.
Aku saling pandang dengan Liana… kami pun akhirnya tertawa.
2 Tahun telah berlalu semenjak aku akhirnya memutuskan untuk menikahi Liana. Dia terlihat begitu kaget melihatku mendatangi rumahnya. Aku merasa bersalah tidak mengabarinya terlebih dahulu. Dia baru benar-benar menunjukkan kekesalannya setahun setelah pernikahan kami. Untungnya dia menerimaku, kalau tidak, aku akan sangat malu.
Tak kusangka, Liana ternyata juga ragu menyapaku, karena takut aku bukanlah Hiro yang dia kenal dulu. Sedikit merasa senang, dia ternyata tidak melupakanku. Sekarang kalau kami membicarakan semua ini, kami pasti akan tertawa mengingat kekakuan kami. Liana ternyata tak pernah menyangka aku Hiro karena menurutnya aku begitu populer dan ceria. Padahal keceriaanku itu berasal darinya, aku tertular olehnya.
Aku sangat senang, cinta pertamaku akhirnya menjadi Istriku. Kehadiran Elisa menambah keceriaan kami, anak mungil yang sangat senang membaca Al-Quran ini membuat kami tak henti-hentinya bersyuukur.
Sebulan setelah pernikahanku, aku mendapat undangan dari Hasan. Dia mendapatkan gadis Lebanon. Ketika aku mengomentari Istri Hasan yang cantik, Liana entah kenapa mencubitku sakit sekali. Apa dia cemburu? Ck ck ck… dasar wanita. Cuma mau menyenangkan hati teman aja dia pakai bawa perasaan segala. Hasan hanya cekikikan.
Aku tanpa sengaja melihat sebuah buku tergeletak di atas tempat tidur pagi itu. Sebenarnya mau kurapikan, tapi… tak sengaja aku melihat namaku ditulis berkali-kali. Aku jadinya penasaran. Tanpa sepengetahuan Liana aku membaca diarinya. Maaf ya …
Esoknya aku mendapatinya membaca buku diarinya.
Dengan wajah tanpa dosa, aku bertanya,“Lagi baca apa?”
Spontan dia menutupnya… “Nggak ada, hehe…”
Aku mencoba memancingnya,” Pasti isinya aku aja…” Kataku iseng.
Dia malah menjulurkan lidah…” Berharap yah…” sahutnya. 
Aku hanya tersenyum.

                                                                    FIN

4 komentar:

  1. aaaa~ aaaaa~ aaaak >,< *pdhl cuma mau komen begini, krn sudah suka sama yg sebelumnya*

    tp sebagai komen tambahan, jalan cerita tetep keren, isi ceritanya yg hebat..apalagi kurang dari dua tahun Elisa sudah hafal Al-Baqarah, *Yuri umur segitu belum lancar ngomong* tp itulah kelebihannya fiksi ndk ada yg ndk mungkin...tp sy suka..

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah lucu banget baca kata2nya Rany yang ini..."tp itulah kelebihannya fiksi ndk ada yg ndk mungkin"...tapi emang bener..itulah dahsyatnya fiksi... semua yang nggak mungkin.. jadi sangat mungkin..hahaha mau nulis keliling dunia aja...guampang,hehe

      Hapus

LeeAne butuh saran dan komentarnya...
Berkomentarlah dengan bahasa baik And no SARA yah guys :)