Ulasan cerita sebelumnya: Maki hari itu sendirian di atap gedung sekolah. Tak sengaja dia mendengar suara orang bernyanyi.Maki tidak dapat mengenali wajah orang itu, karena wajahnya tertutup oleh buku. Saat orang itu pergi ke kamar kecil, maki cepat-cepat mencuri dengar lagu yang tak sengaja masih menyala di ponsel yang ditinggal oleh orang itu. Keasyikan sendiri, tanpa sadar Maki tertidur dan sewaktu bangun, didapatinya suatu kertas dipangkuannya yang berbahasa Korea. Dari surat itu, Maki mengetahui kalau dia memiliki Secret Admirer. cerita selengkapnya simak Ah ! part 3
“Secret admirer!! Cie cie
cie…”Risa perlahan-lahan kembali ke tabiat aslinya.
“Sudahlah, makan eskrimmu nanti
keduluan encer, atau kamu udah nggak mau lagi.” Ena menggoda Risa. Risa
langsung menjulurkan lidahnya,” enak aja.”
“Apa kamu yakin dia bakalan
muncul kalau kita berempat di sini. Dari kata-kata di suratnya, sepertinya dia
baru ada saat kamu sendirian aja di sini. Kamu kan suka ketiduran kalau
sendirian.” Nana mengidentifikasi. Aku sedikit merinding dengan kata
“sendirian”.
BLAAAMM … tiba-tiba pintu atap
gedung sekolah terbuka. Kei, Ken dan Naoki tiba-tiba masuk. Nana melirik Ena.
Ena hanya nyengir.
“Jadi, pemilik kertas itu secret
admirer mu yah?” Tak ada angin tak ada hujan, Kei langsung bertanya to the
point.
“Ena… kenapa kamu harus
keceplosan lagi?” Nana geram sambil melirik Ena.
“Keceplosan apa? Aku nggak pernah
ngomong apa-apa kok. Eh Kei! Kamu tahu itu darimana?” merasa terpojok Ena malah
menatap geram Kei. Kei menjadi diam seribu bahasa. Ena menjadi kesal dan
meninggalkan kami tapi entah kenapa Kei merasa bersalah dan menyusulnya.
“Naoki yang ngasih tahu aku.” Ken
tiba-tiba buka mulut.
Tapi yang bereaksi malah Risa ,”
Kamu?! Aaah..“ Risa langsung bangkit dari duduknya, meninggalkan es krimnya
yang sudah seperti air setelah melotot tajam kearah Naoki.
Naoki menajdi bingung dan sempat
memberikan ekspresi kesal ke Ken sebelum akhirnya dia mengejar Risa. Ken
akhirnya hanya bengong, Nana menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala
prihatin, ditepuknya pundak Ken sambil membisikkan sesuatu. Ken memperlihatkan
mimik tidak mengerti, tapi Nana menyeretnya untuk pergi. Aku sedari tadi hanya
diam saja memperhatikan mereka.
Tak berselang lama, pintu
atap gedung itu terbanting keras sekali. Misa muncul dengan rambut acak-acakan. Matanya nanar
melihat kesekelilingnya, sampai akhirnya matanya terpaku ke arahku.
“Kamu? Apa yang kamu lakukan di
sini?”
Aku terdiam sejenak,lidahku kelu.
Misa mendekatiku, melihatku
sambil mengernyitkan kening. “Kamu sering ke sini?”
“a-aku bi-biasanya menghabiskan
wa-waktu istirahat di-disini.” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab,
walaupun masih terbata-bata.
“Sendiri?” Misa melihat
sekelilingnya.
“A.. tidak juga, terkadang
sendiri tapi… kadang-kadang juga dengan temanku.”
“Siapa?” Misa mengangkat sebelah
alisnya.
Aku sedikit tertekan, aku merasa
sedang diinterogasi.
“Hmm.. Nana, Ena dan ah! Ri-risa…dia
salah satu temanku juga!”kataku tanpa sadar tersenyum,” kamu pasti kenal dia,
kalian sekelas kan?”
Raut muka Misa langsung berubah,”Aku
tidak suka anak itu!” Katanya kasar.
Aku langsung menelan ludah.
“Anak itu suka cari perhatian
cowok, dasar centil.”
“Apa maksudmu! Risa tidak begitu,
dia memang ceria, mungkin itu yang membuatnya terkesan seperti menarik
perhatian cowok!’’ aku tanpa sadar menaikkan nadaku, merasa tersinggung
sahabatku difitnah.
“Diam!!” Misa melotot ke arahku.”Aku
tidak pernah meminta pendapatmu.”
Aku langsung kaku. Keringat dinginku
sudah terasa mulai mengalir.
“Apa bagusnya anak itu, umbar
senyum ke semua cowok… murahan!”
“Cukup! Jangan jelek-jelekan Risa
di depanku!” Entah kenapa rasa takutku serasa menguap.
Misa melirikku, kepalanya terangkat,
tapi matanya menatap tajam ke arahku. Sebagai catatan Misa lebih tinggi sekitar
5 senti dariku. Aku sekali lagi menelan ludah.
“Oh… kamu berani membentakku ya?”
Misa mengambil sesuatu di kantongnya. Dengan lihai dia memutar-mutar pisau
lipat yang baru saja diambilnya. Dengan pelan tapi pasti dia semakin
mendekatiku. Aku tertegun.
Misa dalam hitungan detik telah
meraih kerah bajuku dan mengangkatnya sampai aku harus berjinjit supaya bisa
bernafas. “Tidak ada yang pernah berani membentakku, kau tahu itu!” Misa
meletakkan ujung pisau tepat di daguku.
Aku menutup mata pasrah,
jantungku sudah berdegup kencang sekali. Tiba-tiba pintu di atap gedung sekolah
itu terbuka. Sosok GeunSuk muncul dari balik pintu. Langkahnya terhenti saat
melihat aku dan Misa. Dia memandangi kami tanpa ekspresi. Kami akhirnya spontan
membalas tatapannya.
“Oh… aku tidak akan mengganggu
kalian, lanjut saja.” Kata GeunSuk akhirnya dengan santai, menutup kembali
pintu itu.
Eh? Kataku dalam hati. Entah kenapa karena kakiku sudah mulai
gemetar dan aku sudah mulai merasa putus asa, aku asal saja berteriak.
“GeunSuk!! GeunSuk!!” Aku berteriak
sambil menutup mata.
“Apa yang kamu teriakkan bodoh!! Jangan
ribut!!” Misa semakin menusuk daguku, terasa sekali ujung pisau itu mengenai
kulitku.
KREAAT…
“Ada yang memanggilku?” GeunSuk
membuka pintu dengan santai, menatap kami sekali lagi.
Tapi kali ini keningnya mengkerut.
Dia mendekati kami.
“Aku rasa latihan kalian terlalu
serius, dagumu sepertinya berdarah.” GeunSuk dengan santai menghalau pisau
Misa, dan membersihkan sedikit darah yang menyembul keluar di daguku dengan sapu
tangannya.
Entah kenapa Misa hanya terdiam,
dia tidak melawan bahkan berkata apa-apa.
“Terima kasih.” Kataku malu.
GeunSuk tanpa ekspresi memberikan
sapu tangannya.”Darahnya sepertinya masih keluar.” Tanpa basa-basi lagi,
GeunSuk meninggalkan kami. Misa masih terpaku.
“A…aku akan kembalikan sapu
tanganmu segera!!” teriakku.
Tapi pintu sudah lebih dulu
tertutup.
Aku memberanikan diri melirik
Misa. Mata Misa masih tertuju ke arah pintu yang baru saja tertutup. Cukup
lama, aku baru menyadari kalau aku masih belum aman.
“Apa hubunganmu dengannya.” Misa
masih menatap pintu itu.
“Ah?..-nya? Siapa?” aku
benar-benar lemot.
Misa menghembuskan nafas,
suaranya terdengar jelas. Tak lama kemudian menoleh ke arahku.”Mana saputangan
tadi?” Seperti layaknya preman, Misa meminta saputangan yang merupakan
penghubung satu-satunya antara aku dan GeunSuk. Aku sebenarnya ingin sekali
menolak, tapi… aku tidak cukup berani untuk itu. Dengan berat hati aku
menyerahkan sapu tangan itu.
Misa tersenyum, lalu kemudian
menatapku lagi,”Jangan senang karena GeunSuk terlihat peduli padamu. Dia hanya
orang yang tidak suka melihat darah. Kamu bukan tipenya… tentu saja, aku pasti
salah lihat saat itu.” Misa mengatakan
sesuatu yang tak kumengerti. Aku hanya terdiam. Sedikit tersinggung sih
mendengar kata “kamu bukan tipenya” tapi… siapa dia? Ibunya saja bukan.
Misa tidak berlama-lama lagi
denganku. Untung saja. Sambil menatap sapu tangan GeunSuk dia pergi dengan
wajah bersemu merah, meninggalkanku sendirian lagi di atap gedung sekolah siang
itu.
to be continued...