Minggu, 29 April 2012

Semua Untuk Kakakku

aku bingung mau nulis apa, aku post cerpen lamaku aja  yah, ini merupakan cerpen pertamaku yang di revisi, tapi... revisinya belum kelar,...T^T...btw ceritaku komik banget dah,..haha maklum bacaannya komik sih,..hehe

but anyhow, this is my fiction story  ^^ (pernah juga aku post di blog lama)


     Semua Untuk Kakakku

Dear diary, aku tidak mau berfikir seperti ini, tetapi sepertinya Tuhan telah tidak adil padaku, semua untuk Kakakku, Papa, Mama, teman-temanku, kebahagiaanku, aku tidak tahu apa yang masih tersisa untukku…



Sasa menutup diary-nya, dia tidak sanggup untuk meneruskan tulisannya, dia tidak tahu apa sebenarnya yang dia fikirkan. Di satu sisi dia benci dengan Kakaknya, tapi di sisi lain dia sangat menyayanginya. Hal tersebut dikarenakan Kakaknya bagaikan magnet yang mengambil semua yang ada di dekatnya. Sasa bingung, apa yang sebaiknya dia lakukan.


Sasa dan Zizi merupakan kakak beradik. Secara fisik, Sasa kalah telak dari Kakaknya. Dia memiliki badan yang gemuk dan pendek, sedangkan Kakaknya ramping dan tinggi. Dari dulu Sasa selalu dibanding-bandingkan dengan Kakaknya apalagi beda umur mereka cuma satu tahun. Zizi adalah anak yang periang, cantik, ramah, dan pintar. Rambutnya yang panjang terurai dengan indah dan bergerak mengikuti irama langkahnya setiap dia berjalan, menambah pesona dirinya di mata orang-orang yang memandangnya. Namun, itulah yang membuat Sasa terkadang segan berjalan di dekat Kakaknya yang terlalu mencolok. Rambut Sasa keriting tidak terurus, dia tidak ramah, karena menurutnya tersenyum merupakan perbuatan yang sia-sia. Sasa sebenarnya merupakan anak yang jenius, tetapi muka juteknya membuat teman-teman dan gurunya lebih menyukai Zizi. Sedangkan sikap periangnya sudah lama dibuangnya semenjak dia merasa tidak ada yang menoleh kepadanya melainkan ke Kakaknya saja seorang.


Sasa selalu menganggap dirinya orang paling menderita di dunia, memiliki Kakak yang hampir sempurna dengan dirinya yang jauh dari kesempurnaan membuatnya benar-benar merasa sebagai itik yang bersaudarakan angsa, tidak di sekolah, di rumah pun perlakuan yang dia dapatkan tidak jauh berbeda. Kakaknya yang memiliki kondisi tubuh yang lemah membuat keluarganya selalu mendahulukan Zizi dalam hal apapun. Zizi suka sakit-sakitan, kondisi itu terkadang disyukuri oleh Sasa, walaupun sebenarnya dia kasihan juga dengan Kakaknya yang tidak jarang batuk darah atau mimisan jika kecapekan sedikit saja.


Sasa dulunya sangat dekat dengan Zizi, maklum mereka cuma dua bersaudara, dan satu hal yang tidak dapat di sangkal oleh Sasa walaupun dia sangat menginginkannya adalah Kakaknya itu gadis yang menarik. Zizi memang dari dulu selalu jadi sorotan, tetangga-tetangga mereka selalu mengingat Zizi dan melupakan Sasa sebagai Adiknya. Jika keduanya berjalan bersama, yang di sapa selalu Zizi, yang dipanggil, yang di berikan kue, yang di cubit-cubit selalu … Zizi. Namanya juga masih kecil, Sasa sih cuek-cuek saja, karena semua kue atau apapun itu yang diberikan ke Zizi pasti diberikan ke dia juga oleh Zizi. Hal itu dilakukan oleh Zizi bukan karena dia tidak suka, tetapi karena sebenarnya dia suka memanjakan Adiknya itu, dia sadar Adiknya tidak pernah dimanjakan. Tetapi sayang, Sasa tidak pernah menyadari hal itu. Apalagi setelah kejadian saat dia masih berumur 7 tahun.


Hari itu, tepat ketika Sasa berumur 7 tahun dan Zizi berumur 8 tahun, keduanya seperti biasa bermain di luar. Namanya anak kecil, permainan mereka tidak lepas dari permainan yang menguras banyak tenaga. Saat itu Sasa tidak pernah menyangka kalau ternyata hari cerah yang menyenangkan itu menjadi hari terakhir dia dapat merasakan nikmatnya tertawa. Di saat dia, Zizi dan teman-teman sepermainannya yang lain sedang asyik bermain, Zizi tiba-tiba pingsan dan hidungnya mimisan. Darah yang keluar dari hidungnya banyak sekali, seketika itu wajahnya pucat. Sasa begitu shock melihat Kakaknya, badannya seketika itu kaku tidak bisa bergerak, bahkan untuk teriak meminta bantuan pun dia tidak sanggup. Untung saja ada Bi Jamilah, tetangga sebelah rumahnya, yang saat itu tanpa sengaja melewati lapangan tempat mereka bermain yang jaraknya agak jauh dari rumah mereka. Bi Jamilah segera membawa Zizi ke rumah. Keluarganya yang melihat keadaan Zizi langsung panik. Zizi yang sudah pingsan segera di bawa ke rumah sakit terdekat. Semua anggota keluarganya berkumpul di rumah sakit, kecuali satu orang yang tidak ada di sana, Sasa.


“Ma, Sasa mana?”


“Nggak tahu Pa, dari tadi Mama nggak lihat.”


“Hmm … kemana anak itu? Kakaknya sedang di rumah sakit, dia malah keluyuran.”


“Sabar Pa, namanya juga anak kecil, mungkin sekarang dia ada di rumah.”


Tanpa ada yang mengetahui, Sasa masih berdiri terpaku di tempat dia bermain yang kini telah sepi, dia menangis keras sekali, dia tidak berani pulang, dia takut Papanya akan menyalahkannya dan memarahinya habis-habisan.


Namun, hari yang semakin larut beserta hujan yang disertai kilat dan guntur, membuat Sasa akhirnya memutuskan untuk pulang. Badannya basah, kakinya penuh dengan cipratan lumpur, matanya bengkak karena menangis seharian, dia sangat khawatir dengan keadaan Kakaknya. Tetapi jangankan menanyakan hal itu, untuk bilang “aku pulang” saja dia masih hanya bisa menelan ludah.


“ Dari mana saja kamu, hah !” Papanya memergokinya di depan pintu rumah.


Lantai teras rumah Sasa basah dan kotor karena lumpur di sandalnya, rambutnya yang keriting serta ujung-ujung bajunya meneteskan air yang membuat terasnya tambah basah saja. Mulut Sasa kelu untuk menjawab pertanyaan Papanya, saat itu dia memang kedinginan tapi bukan itu alasannya.


“Ee mmm ee,” Sasa menggigil kedinginan, tetapi badannya seketika itu hangat karena ketakutan, dia bisa merasakan amarah Papanya.


“Kenapa kamu pulang basah kuyup begini, dari mana saja kamu dari tadi! Kakakmu pingsan, tetapi kamu malah kelayapan dan baru pulang sekarang! kamu memang tidak pernah peduli dengan Kakakmu, kamu sengaja mengajak Kakakmu ikut bermain padahal kamu tahu kalau dia itu badannya lemah. Kamu malah membiarkannya bermain panas-panasan!” Papa terus memarahi Sasa, kedua bola matanya seperti hampir keluar karena melotot dengan geram. Kumisnya yang tebal membuat mukanya yang sangar itu tambah menakutkan.


“Itu, itu kakak sendiri yang mau kok Pa, sudah saya larang, tetapi dia memaksa, dia bilang dia kuat,” Sasa mencoba membela diri, tapi apa yang dikatakannya itu memang benar, dia mencoba membuat kata-katanya bisa di dengar di bawah suara hujan yang cukup memekakkan telinga.


“Alasan! pokoknya sebagai hukumanmu, kamu jangan masuk rumah, diam saja di luar, tidak ada makan malam, kamu juga harus merasakan apa yang Kakakmu rasakan supaya kamu tidak bertindak ceroboh lagi!!” Papanya menutup pintu rumah dengan keras, meninggalkan Sasa yang terdiam terpaku dan menggigil kedinginan di luar di mana hujan sangat lebat ditambah dengan kilat dan guntur yang paling ditakuti oleh Sasa.


“Sasa takut, Sasa takut Papa, Mama, Kakak,” Sasa terus menangis merintih sepanjang malam itu, sampai dia tidak sadar dirinya terlelap.


                                                                                       ***


Kejadian itu selalu menjadi trauma Sasa, sejak saat itu dia tidak pernah tertawa, dan hubungannya dengan Zizi pun menjadi renggang. Kejadian siang itu membuat dia dan Zizi saat ini mengikuti sekolah di tahun yang sama. Sekarang Sasa sudah berumur 16 tahun, tetapi perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Tetapi perasaan itu diikuti pula oleh rasa irinya terhadap Kakaknya yang kerap kali muncul. Sasa selalu menjadi nomor satu di kelas dalam hal pelajaran bahkan di seluruh sekolah, tetapi tidak ada temannya yang pernah mau bertanya mengenai pelajaran padanya. Mereka lebih memilih bertanya ke Zizi, karena bagi mereka senyuman Zizi begitu menyejukkan. Sedangkan muka Sasa yang tidak pernah tersenyum membuat mereka tidak betah berada di dekatnya. Hal itulah yang membuat Sasa tidak di rumah ataupun di sekolah menjadi penyendiri. Hari-harinya lebih banyak dia lewatkan dengan membaca buku di bawah pohon rindang yang letaknya tidak jauh dari sekolahnya, sehingga dia tidak pernah tahu dan ingin tahu gosip-gosip yang beredar di sekolahnya.


“Hmm ... kayaknya seru tuh bacaannya.” Tiba-tiba ada suara seseorang di belakang Sasa yang memecahkan konsentrasinya membaca. Dia segera menoleh mencari sumber suara, dan di sana didapatinya seorang anak cowok yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, dilihat dari mukanya dia terlihat seumuran dengan Sasa.


“Oh, hahahaha maaf nama saya Leon, saya murid pindahan,” Leon mengulurkan tangannya.


Sejenak Sasa berfikir apakah dia akan membalas atau tidak, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk kembali membaca dan tidak memperdulikannya.


“Eh? cuek betul,” Leon langsung mengambil tempat duduk di dekat Sasa,” coba aku lihat bukunya,” Tangan Leon tanpa sengaja menyentuh tangan Sasa.


Sasa dengan spontan melepas bukunya, ”Ambil saja.” Sahutnya sinis, sembari bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Leon yang bingung dengan sikapnya. Sasa tidak tahu kalau ternyata Leon akan mengisi hari-harinya setelah itu.


                                                                                  ***


Leon ternyata menjadi buah bibir para gadis-gadis di sekolah. Orangnya cerdas, menarik, ramah, dan yang selalu membuat para gadis terpukau adalah keahliannya di bidang olahraga. Leon pun secara fisik merupakan cowok yang gagah, dia tinggi, rambutnya hitam lurus, sorotan matanya tajam membuat orang percaya dengan setiap kata-katanya, dia pun populer tidak cuma buat para gadis, tetapi juga menjadi teman yang asyik buat para anak cowok, dan murid berprestasi buat para guru. Tetapi satu hal yang paling tidak disukai oleh Sasa, semua orang menjodohkan Leon dengan Zizi, dan hal itu dipertegas dengan kedekatan mereka akhir-akhir ini.


Sasa yang tidak pernah tersentuh gosip ternyata kali ini tersentuh juga. Tidak ada yang tahu Leon mulai dari hari itu kerap mengganggunya membaca. Memang untuk pertama kalinya dia terganggu, tapi lama kelamaan dia malah merasa nyaman dengan gangguan itu, dia pun tanpa sadar ketawa kecil karena lelucon yang sering di ceritakan oleh Leon dan cintapun bersemi di hati Sasa, tetapi di saat dia merasakan perasaan itu, muncul gosip antara Leon dan Zizi.


                                                                                     ***


Hari ini, seperti biasa Sasa membaca buku di bawah pohon kesayangannya. Namun saat ini pikirannya juga dipenuhi pertanyaan yang akan dia lontarkan ke Leon. Dia ingin bertanya perihal kedekatan Leon dengan Kakaknya.


Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu itu pun muncul, tetapi raut muka Leon aneh.


“Zizi pingsan, dia tiba-tiba muntah darah, kamu harus temani dia Sa,” Leon mencoba mengatur nafasnya. Saat itu semua pertanyaan yang telah disusun dengan rapi di kepala Sasa seketika itu buyar. Berita mengenai keadaan Zizi membuat Sasa lemas, satunya lagi karena mungkin saja gosip itu benar, Leon terlihat sangat khawatir, raut mukanya tegang.


“Hmm, aku nggak yakin kehadiranku ada maknanya di sisi Zizi.” Kata Sasa lemas, dia mencoba menghindari tatapan Leon.


“Ada, ada, pasti ada, bagaimanapun juga dia itu Kakakmu, kamu itu Adiknya Sa, Zizi sangat sayang sama kamu, percayalah! jangan keras kepala Sasa, temui Zizi, dia membutuhkanmu!” untuk pertama kalinya Leon memelas padanya, Sasa sebenarnya memang sangat ingin menemui Zizi dan dia mengerti Leon benar-benar mengharapkannya menemui Zizi, tapi dia juga bingung.


Sasa berpikir sejenak, dia menghela nafas, ”Maaf Leon, tapi ... ”


“Sa, keadaan Zizi saat ini benar-benar kritis. Tanpa sebab apa-apa dia muntah darah dan pingsan, mukanya pucat sekali. Apa kamu benar-benar tidak ingin menemuinya?”


Butuh waktu yang lama untuk membuat Sasa akhirnya bersedia menemui Zizi. Itupun muka Sasa masih sangat terpaksa, sudah lama dia tidak berhubungan dengan Kakaknya semenjak kejadian itu. Dia tidak tahu ekspresi bagaimana yang akan dia tunjukkan. Tapi, Leon tetap meyakinkan Sasa kalau Zizi tidak akan mempermasalahkan hal itu.


Mereka pun segera berangkat ke rumah sakit tempat Zizi dirawat, di sana telah berkumpul teman-teman sekolahnya, guru-gurunya beserta Papa dan Mamanya. Melihat Sasa, Papanya seperti mau marah tetapi Mamanya segera menenangkannya. Sasa memegang lengan Leon erat sekali, tetapi Leon tidak merasa terganggu sedikit pun, namun Sasa dapat merasakan semua pandangan tertuju padanya dan Leon.


Leon membuka pintu kamar Zizi, di sana Sasa dapat melihat tubuh Zizi yang kurus berbaring lemas di atas kasur.


“Sasa...!” Zizi mencoba bangun ketika melihat Sasa datang, raut wajahnya menunjukkan dia sangat bahagia dengan kedatangan Sasa.


“Hai Kak,” Sasa mencoba menyapa dengan biasa, dia pun segera duduk di samping Zizi mengikuti sinyal yang ditunjukkan Zizi.


“Sasa ... Adikku,” Zizi memeluk dan mencium Sasa sambil mengelus-elus rambut Sasa. “Kakak tahu Kakak bukan Kakak yang baik buatmu, dan Kakak tidak bisa berbuat apa-apa untukmu, walaupun Kakak sangat ingin,” Zizi terus dan terus berbicara, baru kali ini Sasa melihatnya secerewet ini, dia sampai tidak tega untuk memotong kata-kata Kakaknya. Terakhir dia membisikkan sesuatu di telinga Sasa yang membuat jantungnya berdegup kencang, ” Leon itu sengaja dekatin Kakak biar tahu kamu lebih dalam, dan dia bilang ingin jadi secret admirermu, supaya kamu nggak ngejauhin dia, dia benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama.” Zizi tersenyum. Sasa menjadi salah tingkah, dilihatnya Leon yang hanya mengerutkan kening.


“Kalian bisikin apaan sih? Bikin penasaran saja,” Leon mengernyitkan kening. ”Nggak ada, ini urusan perempuan mau tau saja,” Sasa tersenyum malu.


”Ah aku tahu kok kalian pasti tadi bicarain aku, he,” Leon menggoda Sasa, Sasa terus mengelak, Zizi sampai tertawa kecil melihat tingkah mereka berdua.
Zizi tak henti-hentinya tertawa. Namun, tiba-tiba hidung Zizi mengeluarkan darah, kondisi tubuhnya turun drastis, Zizi tiba-tiba saja pingsan lagi. Sasa dan Leon panik, Leon segera memanggil dokter, Zizi pun segera dibawa ke ruang IGD. Orang-orang yang menunggu di luar kamar Zizi pun ikut panik, sedangkan Sasa kembali terpaku diam seribu bahasa. Semua keribuatan di sekelilingnya seperti tidak terasa olehnya apalagi ketika isak tangis bergemuruh di sekelilingnya. Dia tidak bergeming sedikit pun.

                                                                                   ***


Sasa menunggu gelisah di ruang tunggu. Sasa takut ditinggalkan Zizi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia merasakan kehadiran seorang Kakak. Sasa seperti patung. Kata-kata Kakaknya masih terngiang-ngiang dengan jelas, kata-kata itu telah cukup menyadarkannya betapa Kakaknya sangat menyayanginya. Prasangka buruknya terhadap Zizi selama ini hanyalah bentuk dari perasaan irinya saja. Rasa iri itu telah membuat hati Sasa menjadi beku, dia tidak bisa merasakan hangatnya kasih sayang Zizi selama ini. Dia tidak pernah memperhatikan betapa Kakaknya memang benar-benar peduli padanya. Zizi tidak pernah tidak membelanya, kalau Papanya memarahinya. Sasa terus mengenang hal-hal kecil yang telah dia lewatkan bersama Zizi, air mata terus mengalir membasahi pipinya. Leon mendekati Sasa dan menenangkannya.


”Tenang Sa, Zizi akan baik-baik saja.”


Kata-kata Leon sedikit membuat Sasa tenang. Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang IGD dan memberitahukan berita gembira.


Sasa begitu senang, dipeluknya Leon sambil menangis terharu, Leon begitu kaget tapi segera menyambutnya dengan tersenyum kecil.


Saat itu juga Sasa berjanji akan membuang perasaan irinya terhadap Kakaknya yang selama ini membuatnya tidak tenang, menyia-nyiakan keberadaan Kakaknya selama ini merupakan penyesalan terberat baginya.
                                                                                    ***

Makasih buat yang udah meluangkan waktu membaca cerpen ini sampai selesai...^^d...






2 komentar:

  1. kerennnn, seandainya ada tambahan akhirnya ortunya tau kenapa Sasa berubah...tp, daebak,,sy bisa membayangkan situasinya :D

    BalasHapus
  2. makasih^^,...jadi terharu T^T dibilang daebak,..hehe

    BalasHapus

LeeAne butuh saran dan komentarnya...
Berkomentarlah dengan bahasa baik And no SARA yah guys :)