KiKi menatap langit sore yang sudah mulai
menguning, pikirannya melayang entah kemana. Akhir-akhir ini pikirannya tak
jelas memikirkan apa, teman-temannya sudah mulai sibuk dengan diri
masing-masing, Rani aneh karena JinKi, Ilma suka melamun karena laki-laki yang
tak jelas namanya, dan Wulan...Ada apa dengan anak itu?
Terlintas kembali ingatan seminggu yang lalu,
saat dia menjadi sukarelawan menemani Wulan di panti Jompo. Wulan terlihat
begitu terpesona dengan karisma si JunHyung. Yah... Wulan rada tomboi, tapi dia
nggak pernah dapetin perhatian dari cowok sebelumnya, mungkin karena postur tubuhnya?
entahlah ...Wulan memiliki tinggi di atas perempuan pada umumnya dan tak jarang
di atas pria kebanyakan sehingga teman-teman cowoknya lebih sering memperlakukan
dia layaknya cowok ketimbang cewek. Mungkin inilah yang membuatnya sedikit
shock saat JunHyung dengan gagahnya mengangkat tubuh-nya tanpa berfikir
panjang. Saat JunHyung mengurut kakinya, Wulan tak henti-hentinya menatap
laki-laki itu. KiKi yang tak habis pikir dengan penglihatannya, bahkan sampai
lupa mengambil moment penting itu. Inilah mungkin yang namanya jodoh, saat
Wulan hampir putus asa dengan siapa yang akan jadi pasangan hidupnya, tiba-tiba
sosok laki-laki ini muncul.
KiKi tersenyum kecil mengingat tingkah Wulan.
Setelah Wulan pikirannya kembali melayang ke... Rani. Ingatan setahun yang lalu
masih terekam dengan sangat jelas, saat dimana Rani begitu kelimpungan karena
membutuhkan uang untuk proyek risetnya yang diluar perkiraan. Riset konyol yang
dia lakukan dengan beberapa teman klubnya pecinta robot. KiKi tak habis pikir,
bagaimana bisa Rani tertipu oleh kumpulan manusia tak jelas itu, setelah
mengembat uang Rani mereka menghilang begitu saja. Bayangkan, tanpa ilmu mereka
bercita-cita membuat robot. Dengan ilmu seadanya plus try and error alhasil
mereka mengeluarkan biaya yang cukup besar, walaupun awal kesepakatan mengatakan
kalau biaya ditanggung semua anggota, tapi berdalih meminjam uang Rani dulu
menyebabkan ludesnya uang Rani seketika, tanpa hasil yang pasti melainkan sakit
di hati. Rani uring-uringan sepanjang hari, tim nggak jelasnya yang berjumlah 4
laki-laki dan dua perempuan itu benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Parahnya,
nama yang sehari-hari mereka gunakan ternyata hanyalah nama samaran, kalah
telak, Rani tak henti-hentinya menyesali kebodohan dirinya yang begitu mudah
mempercayai orang. Pihak berwajib mengatakan kemungkinan orang-orang ini
merupakan sekumpulan orang professional yang memang sering melakukan penipuan
seperti ini. Hanya saja… kenapa Rani?
KiKi menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir
sambil menghela nafas, matanya terus terpaku menatap kumpulan awan-awan yang
warnanya sudah seperti es krim saja, sedikit oranye dan agak merah. KiKi
semakin membenamkan dirinya di rumput di pinggir sungai yang semakin tinggi
saja, sambil matanya tanpa berkedip menatap lurus ke atas. Suara desiran air
sungai dan kendaraan yang melewati jembatan di dekatnya terdengar seperti irama
di telinga KiKi. Sore yang damai, KiKi mulai mengantuk, matanya baru saja akan
tertutup—
“Kamu menyukai gadis yang bernama Ilma itu?!
Sejak kapan?!”
Sontak mata KiKi terbuka mendengar suara seorang
perempuan yang begitu melengking tak jauh dari tempatnya berada.
“Bukannya kamu bilang kamu tidak menyukainya,
kenapa tiba-tiba? Hah…ada apa denganmu!! Hiroshi!! Jawab aku!!”
“Hi-ro-shi? Siapa itu?” KiKi masih belum mencoba
mencari sumber suara, tapi telinganya sudah sangat waspada mendengarkan.
“Aku… tidak tahu, tolong Risa, jangan desak aku.
Aku juga bingung… bisa tidak kamu tinggalin aku sendiri.”
“Bagaimana mungkin aku ninggalin kamu !! ingat
ya!! Aku tidak akan pernah ngebiarin kamu sama cewek itu!! Aku nggak rela!!
Hiro!! Hiroshi!! Kamu denger aku nggak!!”
Gadis itu terus berteriak, dari suara langkah,
KiKi bisa memperkirakan kalau laki-laki bernama Hiroshi itu telah meninggalkan
gadis itu terisak sambil merintih sendirian. Penasaran, KiKi sedikit mendongak
melihat keberadaan kedua orang itu, dari kejauhan terlihat sosok Hiroshi yang
samar-samar terlihat karena terpaan sinar matahari sore, ternyata dia kembali,
meredakan amarah gadis tadi, terlihat gadis tadi bersender manja di dada
Hiroshi. Mencoba untuk melihat lebih jelas, KiKi dengan hati-hati bangkit dari
tempat berbaringnya tadi, tanpa menimbulkan suara, tapi…
“Aw!!” tanpa sengaja dia menginjak roknya sendiri
sehingga dia kehilangan keseimbangan dan berguling dengan bebas sampai tercebur
ke sungai.
Hiroshi dan gadis tadi tersentak mendengar suara
teriakan, bergegas mereka mencari tahu arah sumber suara. KiKi dengan susah
payah meraih bibir sungai, badannya terasa berat karena baju plus jaket
tebalnya basah semua.
“Butuh pertolongan?”
KiKi mendongak melihat siapa pemilik tangan yang
terjulur itu. Hiroshi? Dan sebelahnya gadis tadi, mukanya masih sembab.
“Ah..iya makasih.” KiKi tersenyum sambil segera
meraih tangan Hiroshi.
“Hmmm… kalau begitu kami permisi, aku rasa kamu
harus segera mengganti bajumu, cuaca sangat dingin.” Saran Hiroshi dan setelah
itu segera berlalu.
KiKi hanya tersenyum, malu. Ditatapnya dua orang
itu sampai hilang dari pandangan. Tiba-tiba angin sepoi-sepoi bertiup, spontan
tubuh KiKi meliuk-liuk kayak ular, dinginnya benar-benar menggigit, dia sangat
butuh cokelat panas. Bergegas diambilnya tasnya yang masih tergeletak di rumput
samping sungai. Berjalan dengan tubuh basah kuyup di sore hari menjelang malam
bukanlah pemandangan yang sedap dilihat, KiKi berusaha menyembunyikan wajahnya
di balik tasnya. Tapi terlepas dari pandangan orang yang berpapasan dengannya,
KiKi masih terus mengingat-ingat dimana dia pernah melihat wajah Hiroshi …
dimana yah?
***
Ilma menatap acara televisi dengan lesu, ingatan
tentang pertemuannya dengan JYH masih berbekas dengan sangat jelas. Perasaan
berbunga-bunga yang tiba-tiba berubah menjadi berduri-duri.
Sedangkan di tempat yang lain, Rani termangu
menatap foto-fotonya bersama JinKi. “Apa aku sudah gila menyukai anak ABG?”
Tanyanya sebal dalam hati, segera di keluarkannya foto berbagai gaya itu dari
dompetnya dan dilemparnya jauh-jauh.” Kenapa aku mesti menyimpannya sih,”
Gumamnya kesal. Seketika itu juga sekelebat ingatan setahun yang lalu muncul,
dinding kamar Rani tiba-tiba berubah layaknya proyektor raksasa yang
menampilkan flashback kehidupan Rani.
JinKi anak SMA sombong yang sangat sulit diatur.
Selain manja, dia juga sangat menyebalkan. Awal Rani menjadi guru privatnya
adalah neraka. Anak itu benar-benar ingin sekali Rani segera berhenti saat itu
juga, tapi tekad Rani yang sangat membutuhkan uang mengalahkan semua ancaman,
makian, cacian, hinaan dan bahkan perbuatan JinKi yang tak henti-hentinya
membuat Rani naik darah. Penipuan yang baru diterimanya saat itu dari orang
antah berantah membuat serangan JinKi tidak berarti. Setelah dua bulan berlalu,
JinKi tampak lelah meladeni Rani, dia mulai melunak, dan lama-kelamaan berubah
menjadi anjing peliharaan Rani, maksudnya menjinak. Rani menikmati kebersamaannya
dengan JinKi, dia merasa menemukan keluarga baru atau lebih tepatnya adik baru.
Hanya saja… lama kelamaan JinKi mulai menampakkan perhatian yang berlebihan
padanya, Rani menjadi sedikit risih. Tapi… dia tetap berusaha untuk
menetralisir perasaannya.
“Nuna… ada photobox tuh, kita fotoan yuk,” JinKi
menarik tangan Rani saat mereka sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan
selepas belajar untuk menghilangkan kepenatan.
Rani sebenarnya agak malas, tapi… JinKi terlihat
begitu antusias, maka dia pun menuruti permintaan JinKi.
“Ini buat Nuna, ini buatku,” JinKi menyerahkan
hasil foto mereka dengan semangat, tapi Rani meraihnya dengan tidak semangat.
Melihat reaksi Rani, JinKi segera menarik tas Rani membuatnya agak terkejut,
tapi karena tubuh JinKi yang jangkung, Rani tak sanggup meraih tasnya. Dengan
cepat JinKi mengambil dompet Rani dan menaruh foto itu di sana.
“Tidak boleh dikeluarkan, ok!” JinKi mengedipkan
mata dengan gaya sok imut. Rani hanya tersenyum geli, dia mengangguk pelan.
Tok tok tok
Suara ketukan menghamburkan lamunan Rani.
“Masuk…”
Dari balik pintu, menyembul kepala KiKi yang
cengengesan. Dia segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
“Ada apa ini?” Rani begitu terkejut melihat KiKi
yang basah kuyup.
“Hehe, gini Ran… baju hangatku belum kering,
sedangkan saat ini aku kedinginan, boleh nggak..”
“Aduuuh… kenapa harus basa-basi sih,” Rani segera
bangkit, berjalan menuju lemarinya dan menarik sepotong sweater tebal berwarna
biru langit.
“ Nih… cepetan ganti baju, wajahmu udah pucat
banget tuh…”
KiKi masih cengengesan sesaat sebelum akhirnya
menutup kembali pintu Rani.
***
Wulan tak berkedip menatap foto yang terpampang
dengan anggunnya di atas meja belajarnya. Foto yang diambilnya diam-diam
kemarin saat mengunjungi panti jompo lagi. Sudah sedari tadi mata itu tak
mengalihkan pandangannya.
“WulChin!” Ilma membuka pintu kamar Wulan
tiba-tiba. Spontan Wulan menyembunyikan foto tersebut di balik bajunya.
Ilma melirik curiga,”Apa itu?” tanyanya penuh
selidik.
“Betsuni…nggak ada apa-apa… ngapain juga kamu
mendadak masuk kamar orang.”
“Nggak ada… aku lagi bête aja…” Ilma sepertinya
kurang semangat untuk menggoda Wulan, dengan malas dia merebahkan dirinya di
ranjang Wulan yang empuk, sambil meraih bantal dan memeluknya erat-erat.
“Tahu nggak Wul… JYH ternyata udah punya cewek…”
Wulan yang tadinya nggak peduli dengan kedatangan
Ilma langsung terbelalak kaget.” Apa!!”
“Huuff~… yah… belum resmi sih, tapi… dia udah punya
cewek yang dia sukai.” Ilma menatap langit-langit kamar Wulan yang berwarna
biru langit, terlihat tempelan bintang-bintang glow in the dark yang berjejer rapi di sana.
“Bagaimana kamu tahu? Siapa tahu kamu salah paham…”
“Dia sendiri yang bilang kok, huff… cewek itu
temen kecilnya, sekaligus tetangganya, sekaligus cinta pertamanya.”
“Aneh… masa iya dia tiba-tiba curhat ama kamu?”
“ Yah… aneh… aku masih belum tahu namanya, tapi
dia malah membicarakan gadis lain dihadapanku.” Ilma tersenyum, tapi mukanya
terlihat sangat sedih.
“Apa kamu suka dia?”
“Hampir… entahlah…aku bahkan nggak tahu suka itu
kayak gimana.” Ilma akhirnya mengambil posisi duduk.
“Dia ngajak aku ke toko bunga buat nepatin
janjinya yang aku sendiri nggak ingat, ngeliat dia kasih aku sebuket bunga mawar,
perasaanku betul-betul nggak bisa aku jabarin, aku seneng banget. Tapi… sekejap
itu pula seseorang muncul diantara kami. Seorang gadis cantik, dengan rambut
ikal sebahu yang tergerai dengan manisnya di pundaknya. Dia tersenyum
memandangi kami.” Pacarmu?” tanyanya ke JYH, JYH hanya tersenyum kecil,”Tidak,
teman…ah… bagaimana kabar Yuko?” “Ah… dia baik-baik saja, awalnya agak sulit
beradaptasi dengan teman-temannya tapi sekarang dia sudah mulai terbiasa.”
Begitulah kira-kira percakapan mereka, aku nggak ngerti kenapa masih
mengingatnya dengan detail.” Ilma melanjutkan ceritanya yang sekarang lebih
seperti mendongeng, terlihat Wulan yang menyimak begitu penasaran dengan
kelanjutan cerita Ilma, posisi duduknya kali ini sudah sangat siap menerima
curhatan Ilma selanjutnya.
Ilma menatapnya sejenak,Wulan nyengir kuda.” Aku
ninggalin mereka ngobrol, malas aja. Aku akhirnya ngabisin waktuku berkeliling
melihat bunga-bunga yang nggak keliatan cantik lagi.”
Wulan merasa tidak nyaman melihat raut wajah Ilma
yang memelas, akhirnya dihampirinya Ilma dan ditepuknya pundak Ilma dengan
lembut.”Lalu… setelah perempuan itu pergi, dia nyerocos aja bilang ama aku,
kalau cewek itu temen kecilnya lah, cinta pertamanya lah, tapi dia selama ini
hanya bertepuk sebelah tangan, sampai si cewek nikah aja, dia masih belum
ngungkapin isi hatinya.”
“Wah… dia sepertinya sangat terpukul ampe nggak
liat tempat curhat.”
Ilma menatap Wulan dengan tajam. Wulan hanya
cengengesan.” Nggak kok, nggak kamu nggak ember kok nggak, hehe…”
Tapi… begitulah. Ilma nggak ember, hanya saja dia
adalah orang yang nggak tahan untuk nggak cerita ama ke-3 sahabatnya. Makanya,
Ilma adalah yang paling terbuka diantara mereka.
Akhirnya cerita mengenai cinta JYH sampai pula ke
telinga Rani dan KiKi, mendengar cerita itu, KiKi kembali teringat, kejadian
kemarin sore saat dia harus jadi bahan tontonan sepanjang jalan karena pulang
dalam keadaan basah kuyup di udara sedingin es. Tapi.. KiKi masih enggan
bercerita, dia masih mau mengingat sendiri terlebih dahulu, siapa wajah yang tak
asing itu.
***
“Sendirian?”
Saat itu Wulan sedang duduk sendirian di halaman
panti, matanya menyisir setiap apa pun yang dapat dijangkau oleh pandangannya.
“Eh?” Wulan tanpa sadar menjatuhkan roti di tangannya.
“Eh?” Wulan tanpa sadar menjatuhkan roti di tangannya.
Melihat itu, JunHyung merasa bersalah. “Ah maaf…aku
nggak nyangka kamu akan sekaget ini.”
Wulan benar-benar salah tingkah, “Aduh… KiKi
kemana sih, ke kamar mandinya lama banget,” gumamnya gusar.
“Oh..bareng KiKi yah?” Kembali JunHyung bertanya.
Wulan mengangguk.
KiKi yang baru keluar dari kamar mandi tertegun
saat melihat Wulan sedang mengobrol asyik dengan JunHyung, wajah Wulan terlihat
tersipu.
“Wah… jadi penasaran mereka bahas apa,” Baru aja
KiKi mau mendekat, seseorang menarik kerah bajunya.
“Siapa it--?! Seseorang menutup mulut KiKi dan
menarik tubuhnya menjauh. Bersikeras KiKi melepaskan tangan itu.
Setelah agak jauh akhirnya orang itu melepaskan
tangannya. “Siapa sih!!” KiKi membalikkan badannya dengan wajah yang sudah
memerah karena kesal.
Furukawa menatapnya dengan malas,”Apa yang kamu
lakukan di sini? Apa kamu mau menghancurkan kencan mereka?” sambil menyilangkan
tangannya di dada dia menampakkan wajah yang seperti meremehkan KiKi.
“Aku… aku nggak bermaksud mengganggu mereka, aku…”KiKi
tersadar,” Kenapa kamu juga ada di sini dan kenapa aku harus berbicara panjang
lebar denganmu.” KiKi membalas tatapan menyebalkan dari Furukawa dengan sinis.
Hening… mereka berdua terdiam, tak ada yang
berminat untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Sedangkan di tempat yang lain tampak hubungan
Wulan dan JunHyung semakin lama semakin mencair, keduanya sama-sama supel
sehingga mudah mencari topik pembicaraan yang menyenangkan.
“Tapi… ngomong-ngomong, apa KiKi nggak terlalu
lama di kamar mandi?” JunHyung tiba-tiba saja kepikiran. Wulan pun akhirnya
teringat,” Iya yah…apa kita susul saja?”
Mereka akhirnya memutuskan untuk melihat keadaan
KiKi yang sudah cukup lama di kamar mandi. Mereka tidak tahu kalau KiKi sedang
uring-uringan karena di suruh menemani salah satu nenek yang mengalami masalah
pendengaran bersama Furukawa.
“Bisa tidak kamu menggunakan bahasa Jepang yang
benar.” Furukawa untuk kesekian kalinya mengomel.
“Hello!! Kalau emang bahasa Jepangmu lebih bagus
kenapa nggak kamu aja yang teriak-teriak sana!!” KiKi udah mulai serak karena
teriak dari tadi tapi tidak membuahkan hasil.
“Tenggorokanku udah sakit,” Furukawa tak kalah
seraknya. Mereka berdua benar-benar sudah parah.
JunHyung dan Wulan tanpa sengaja melewati KiKi
dan Furukawa yang suara teriakannya benar-benar menarik perhatian, membuat
orang yang melihatnya cekikikan.
“Ada apa ini?” JunHyung menghampiri.” Ah… Nenek
Mizushima… kenapa nenek ada di sini?” JunHyung berkata pelan sambil memberikan
bahasa isyarat.
Setelah dari tadi bengong nggak jelas, akhirnya Nenek
ini merespon. Tentunya dengan bahasa isyarat, ternyata Nenek ini gagu. JunHyung
menawarkan diri untuk mengantar Nenek Mizushima ke kamarnya,” Aku tinggalin
kalian bentar yah, maaf udah ngerepotin.”
JunHyung pun segera berlalu mendorong kursi roda
yang membawa Nenek Mizushima, Nenek Mizushima terlihat sangat senang, dia
melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum ke KiKi, Furukawa dan Wulan yang
bengong.
“Huuff~ ternyata bukan pendengaran terganggu tapi
tuli.” KiKi terdengar seperti robot, datar dan serak.
“Huuff~ apa perawat tadi mengerjai kita?”
Furukawa tak kalah keselnya. Wulan yang melihat mereka berdua hanya terdiam
bingung mau berkata apa.
***
Neol
sarangha gesso onjekkajina
Neol
sarangha gesso jigeum I sunggan chorom…
Rani terlelap mendengar playlist mp3-nya yang
sudah memutar lagu hampir 3 kali. Tiba-tiba ponselnya bergetar, sontak Rani
terbangun, diraba-rabanya sekeliling tempat tidurnya mencari dimana letak
ponsel itu berada. Ponsel itu terus bergetar, Rani hampir gondok sampai
akhirnya dia menemukan ponsel itu terselip di ujung ranjangnya.
Tampak di layar ponsel, nomor tak di kenal. Tapi
tanpa pikir panjang, Rani memencet tombol answer.
Moshi Moshi
Nuna?
Rani tertegun, JinKi?
Nuna? Tolong
jangan matiin… aku udah putus asa, aku udah tak tahu lagi bagaimana cara
menghubungi Nuna, aku benar-benar ingin ngomong sesuatu dengan Nuna, aku rasa
Nuna perlu dengar ceritaku.
Rani tidak berkata apa-apa, dia hanya terdiam.
Huuff,
tolong … temui aku di café x, pukul 06.00 sore, aku tunggu, aku akan tunggu
sampai Nuna muncul. Aku serius..
Tut…tut…tut…
Rani menghela nafas… “Kenapa aku seperti ini? Kenapa
aku begitu kecewa dengan JinKi sampai marah seperti ini padanya, ada apa
denganku?” Rani memukul-mukul kepalanya kesal. “JinKi itu hanya kuanggap
sebagai adik, yah hanya sebagai adik, tapi… kenapa aku sangat kesal.”
Bersambung
WAAAAHHHHH.....
BalasHapussy bener2 membayangkan wajah2 itu (>..<)' dan aku terbawa *ih apa coba*
awww..
BalasHapusharus dingatkan klo inii sekedar fiksi.. fiksi..
fokus..
entah kenapa saat sebelumnya sempet blank mau nyeritain kayak gimana, eh ran2 ingetin, tiba2 aja ide muncul, apalagi kebetulan sehari sebelumnya sy baca buku kayak orang mabok, jadinya kemarin nulisnya sedikit lebih lancar... :)
BalasHapusyah... fiksi tapi mungkin ada bagian yang pengen jadi fakta yah Lan,kkkk
hahahahahahahaaaa... mbak uLan geli sendiriiiii...
BalasHapusSapa ituu yg sukak sama iLma...??? sapaaaaa...??
sukak sy ceritanya jinki n nuna... kayak ceritanya my tutor friend gt...
my daughter suyong....
Hapus