Rani berpikir keras melihat tumpukan baju di atas
ranjangnya. Sudah hampir 1 jam dia membongkar lemarinya, mengeluarkan hampir
seluruh isinya. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa nggak ada baju yang pantas dipakainya.
“Sampai kapan kamu mau memilah-milah bajumu…” Ilma yang
sedari tadi memperhatikannya akhirnya berkomentar.
“Ah..oh… hmm … menurutmu yang bagus yang mana yah MaChin,
yang biru? Ungu? Pink? Hijau? Kuning? Merah?---“
“Stop!!... aku rasa yang ini cantik, modelnya simple tapi
menarik, lagipula ini bukan kencan kan? Kenapa kamu harus sibuk memilih baju
seperti orang yang mau kencan..”
Rani cengengesan, sesuai dengan saran Ilma dia
akhirnya memutuskan menggunakan baju itu.
“Bagaimana?” Rani membolak-balikkan badan memamerkan
dandanannya, dengan sepatu high heels plus kaos kaki rumbai yang imut, Rani
terlihat manis dengan dress-nya.
Ilma tersenyum sambil mengangkat kedua jempolnya.
06.00 pm
Tepat pukul 06.00 Rani sudah sampai di café yang dituju, tapi
dia nggak langsung masuk, entah kenapa tiba-tiba dia menjadi ragu.
Tapi… setelah 15 menit merenung nggak jelas di pintu depan,
dipandangi oleh-orang-orang yang lalu-lalang, akhirnya Rani risih juga dan
memutuskan untuk masuk.
Café x sangat ramai hari itu, Rani sampai mendongak cukup
tinggi dan sedikit berjinjit mencari keberadaan Jinki. Ternyata sosok JinKi
tidaklah sulit ditemukan. Tapi… Rani sempat tertegun karena anak itu mengenakan
seragam sekolahnya, melihat itu Rani merasa konyol sekali. Sempat dia berfikir
untuk pulang, tapi… saat dia akan berbalik tanpa sengaja dia bertubrukan dengan
salah seorang waitress.
“Ah… maaf… anda tidak apa-apa?” Waitress itu merasa sangat
bersalah melihat baju Rani yang sekarang telah kotor terkena saos yang tadi
dibawanya.
Rani hanya melongo melihat bajunya yang sekarang dipenuhi
bercak-bercak merah, dia hanya menghela nafas,” Ah… tidak apa-apa, lagipula tadi itu salahku juga.”
Memaksakan diri tersenyum, Rani tidak ingin memperbesar masalah ini. Waitress
itu masih merasa bersalah, tapi Rani memberikan kode kalau dia sama sekali
tidak apa-apa. Melihat kostumnya yang sudah nggak mendukung, Rani semakin
mantab untuk bergegas pulang.
“Nuna?” Ternyata sedikit keributan tadi, menarik perhatian
JinKi. Sekarang dia berdiri tepat di belakang Rani.
Dengan berat hati Rani membalikkan badan sambil menunduk.”Bajuku
kotor, aku rasa aku pulang saja.” Tanpa mendengar respon dari JinKi dan tanpa
memandanginya, Rani membalikkan badan lagi dan bersiap untuk pergi tapi JinKi
menarik tangannya.
“Tunggu!! Huff ~ ,” JinKi membuka jas sekolahnya dan
memakaikannya ke Rani.” Apa ini bisa menutupinya?” JinKi menggigit bibirnya
ragu-ragu menatap Rani menunggu reaksinya.
Rani yang masih menunduk semakin nggak ingin mengangkat
wajahnya, mukanya benar-benar panas, mungkin sekarang wajahnya sudah seperti
kepiting rebus.
“Maaf Nuna kalau aku sedikit memaksa, tapi—“
Rani bergegas keluar dari café, JinKi yang belum
menyelesaikan kata-katanya spontan mengikutinya.
“Nuna!! Nuna!! Nuna mau kemana?”
Rani menghentikan langkahnya, menghela nafas, membalikkan
badan dan mulai menatap JinKi.
“Huuff~ kita bicara di sini saja.”
“Tapi di sini nggak ada tempat untuk duduk,” JinKi memandang
sekelilingnya, jalanan saat itu lumayan padat.
“Yah… kita ngobrol sambil jalan.” Rani mulai melangkah lagi,
dia nggak ingin JinKi melihat wajahnya yang memerah.
“Eh?!” JinKi masih belum setuju, tapi dia tetap mengikuti Rani
dari belakang. Ia akhirnya sampai harus mempercepat langkahnya karena Rani sudah
agak jauh mendahuluinya.
***
KiKi membolak-balik halaman buku tentang penyakit hewan yang
nggak kelar-kelar dibacanya.
“Aduuh… sebenarnya Manis kenapa sih? Kalau emang hamil kenapa
anak-anaknya belum lahir, tapi… kalau dia buncit? Arrggh!! Masa sih kucingku
buncit.” KiKi membenturkan kepalanya di atas meja.
“Itai! Bagaimana kamu nggak semakin bodoh kalau kamu doyan
membenturkan kepalamu.”
KiKi mendongak melihat siapa empunya suara. Ternyata Furukawa.
Dia membawa banyak sekali buku di tangannya, menaruhnya tepat di hadapan KiKi.
“Huuff~ kenapa dia harus muncul di saat seperti ini sih,”
KiKi bergumam sambil tetap membenamkan wajahnya di buku.
“Manis sakit?” Furukawa mengintip bacaan KiKi.
KiKi tersentak dan tak sengaja tulangnya berbunyi saat dia
berusaha duduk tegak.
“Itai!!” KiKi mengelus-elus tulang punggungnya. Terdengar cekikikan
Furukawa.
“Jangan-jangan yang sakit malah kamu.” Masih cekikikan,
Furukawa mengambil buku yang sedari tadi dibaca KiKi.
“Bukan urusanmu,” KiKi merampas buku itu dari tangan
Furukawa. Masih dengan muka jutek, dia bangkit dari tempat duduknya.
“Mau kemana?”
“Bukan urusanmu.” KiKi menjawab ketus, Furukawa hanya
mengernyitkan kening. KiKi nggak peduli.
“Masih marah dengan kejadian kemarin?” Furukawa tersenyum
kecil, tapi matanya terpusat pada buku bawaanya tadi yang sekarang mulai
dibacanya.
KiKi menatapnya tajam, ingin rasanya dia menghajar wajah sok
kalem itu, tapi Furukawa terfokus dengan bacaannya.
“Mau sampai kapan menatapku.” Tiba-tiba Furukawa bersuara
dengan nada datar tapi mata tetap pada buku bacaannya.
Mendengar pernyataan itu, KiKi menghela nafas kesal,”PD
banget sih! Huh..” KiKi sudah nggak mau ambil pusing lagi, ditinggalkannya Furukawa
yang sekarang sudah kembali cekikikan, dia sampai lupa kalau tasnya
ketinggalan.
***
Wulan uring-uringan di kamarnya. Dia ingin sekali ke panti, siapa tahu bisa
bertemu dengan JunHyung. Tapi… kalau dia keseringan ke sana, takutnya JunHyung
risih.
“Wulchin! Ke panti yuk!” KiKi tiba-tiba saja masuk ke
kamarnya dan mendaratkan badannya di atas ranjang Wulan yang empuk.
Wulan hanya melongo melihatnya. Tiba-tiba perasaan galau-nya
hilang. Kalau bersama KiKi, pastinya nggak akan terlalu kentara kalau dia ke
sana dengan maksud lain.
“Kenapa kamu tiba-tiba yang ngajak, biasanya kamu males
banget.” Wulan sedikit sok jaim.
“Huuff~ aku bête aja, mungkin kalau berinteraksi sama kanek
(kakek dan nenek) di sana, perasaanku bisa lebih baik.” KiKi cengengesan.
“Bukannya kemarin kamu bilang nggak mau lagi ke sana?”
“Huuff~ itu karena Furukawa ngerjain aku, aku kesel aja. Tapi…
aku rasa hari ini dia nggak ke panti, lagian untuk apa dia ke panti. Sebelumnya
dia nggak pernah ke panti.” KiKi mencibir.
***
KiKi berdiri lemas, hatinya yang cerah tiba-tiba saja mendung.
“Kamu datang lagi? Mau ngasih pertunjukan apa lagi hari ini?”
KiKi menganga sampai Wulan menutup mulutnya. Sadar dengan
tingkahnya, KiKi tidak menggubris Furukawa melainkan menarik Wulan untuk segera
menyingkir dari sana.
“ Hei! Kalian datang lagi… hari ini agak telat, aku kira
kalian nggak akan datang.” JunHyung menghampiri Wulan dan KiKi, tampilannya
hari ini cukup berbeda, membuat Wulan sedikit shock.
Menyadari tatapan heran di wajah Wulan dan KiKi, JunHyung
menjadi salah tingkah.
“Hahahaha… ini… aku memakai seragam sekolah karena nenek
Haruna kangen ama cucunya yang masih SMA, cucunya sudah meninggal dan di ingatannya
hanya cucunya yang memakai seragam, setiap hari senin dia pasti akan mencari
cucunya.”
“Setiap hari senin?” Wulan menegaskan.
JunHyung mengangguk sambil tersenyum manis, terlihat wajah
Wulan merona. KiKi sampai menyenggol
badan Wulan sambil cekikikan, Wulan menatapnya kesal. Untung saja JunHyung
nggak menyadari reaksi Wulan. Mereka pun akhirnya menuju ke tempat nenek
Haruna. JunHyung berjalan dengan semangat, dia benar-benar menikmati menjadi
sukarelawan di sini. Hampir setiap hari dia datang, tak heran kalau dia
menghafal hampir semua nama kanek di sini. Para perawat juga terlihat begitu
akrab dengannya, tak jarang mata-mata centil menatapnya, JunHyung hanya
membalas dengan senyum, membuat para mata-mata centil tambah kesemsem.
JunHyung benar-benar menikmati perannya, dia seketika itu
berubah menjadi anak SMA yang sok manja ke neneknya. Terlihat wajah nenek
Haruna begitu bahagia. Wulan tanpa sadar senyum-senyum sendiri menatap tingkah
JunHyung yang sok manja dan sok imut. Matanya berbinar melihat JunHyung,
menurutnya JunHyung benar-benar sosok yang tidak biasa.
“Nih… kaset yang kamu minta.” Tiba-tiba Furukawa nongol di
balik pintu melempar sekeping CD ke JunHyung, dengan sigap JunHyung
menangkapnya.
Sambil tersenyum manis ke nenek Haruna dia menyalakan lagu L’arc
en CieL kesukaan nenek Haruna. Wulan dan KiKi terbelalak melihatnya, terlihat
nenek Haruna begitu menikmatinya sampai ikut bernyanyi bersama JunHyung.
Furukawa malah tertawa.
Setelah menyanyikan hampir 3 lagu, nenek Haruna sudah nampak kecapekan.
JunHyung akhirnya mengantarkan nenek ke tempat tidurnya dan sebagai penutup
menyanyikan lagu nina bobo. Nenek Haruna perlahan-lahan tertidur. KiKi yang
mendengar lagu itu ikut terkantuk-kantuk, tapi Furukawa yang menyadari hal
tersebut membisikkannya sesuatu yang membuatnya seperti tertampar, rasa
kantuknya seketika itu hilang. Di tatapnya Furukawa dengan kesal, Furukawa
hanya tersenyum, senyum mengejek.
***
Setelah pertemuannya dengan JYH beberapa hari yang lalu, Ilma
menjadi malas-malasan. Sendirian di kantin tak membuat perasaannya tambah
membaik. Rani hari ini kumpul dengan klub memasaknya, Wulan seperti orang yang
mempunyai dunia lain, tak dapat diganggu. Pergi makan aja ngajaknya minta
ampun. KiKi? Dia entah kenapa mukanya nggak bersahabat dari kemarin. Tiba-tiba
saja sekelebat wajah si YunHo muncul di pikirannya.
“Huuff~ kenapa aku malah ingat orang itu sih? Padahal orang
itu udah jelas-jelas nolak aku.”
“Ilma?” Seseorang menyapanya.
Ilma melihat orang itu sambil memicingkan mata, dia masih
setengah tertidur. Sendirian dari tadi membuatnya benar-benar mengantuk. Setelah
penglihatannya agak jelas, Ilma begitu terkejut, segera dia alihkan
pandangannya, mengeluh karena penglihatannya benar-benar sudah parah. Bagaimana
mungkin dia melihat orang di hadapannya ini seperti YunHo, emang YunHo mukanya
pasaran.
“Ilma? Aku mau ngomong sesuatu.” Orang ini kembali bersuara.
Ilma menutup matanya sejenak, menepuk-nepuk pipinya dan
pelan-pelan membuka matanya.
“Fokus ma..fokus..” Gumamnya.
Kali ini Ilma tak berkedip, kembali dia menatap orang itu,
hasilnya sama, orang itu tetap terlihat seperti YunHo.
“Apa aku udah gila!!” Ilma berteriak sambil meremas
kepalanya, “Ah… aku butuh udara segar.” Tanpa menghiraukan laki-laki yang
sedari tadi memanggilnya, Ilma beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan
laki-laki itu melongo melihatnya.
***
Rani tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya melanglang buana
tak tentu kemana. Di tatapnya baskom yang berisi tepung di hadapannya. Suara
JinKi tiba-tiba kembali terdengar, ingatan percakapan mereka kemarin sore masih
terngiang di telinganya.
“Awalnya aku nggak mau cerita, tapi… aku pikir… Nuna perlu
tahu. Lagipula aku yang mengawali semua ini, Nuna pasti berfikir macam-macam
tentangku. Sekali lagi aku minta maaf dengan lagu yang kunyanyikan saat konser
waktu itu.” JinKi mencoba menatap Rani, tapi Rani menghindari pandangannya.
“Aku nggak nyangka hasilnya akan kayak gini, seharusnya aku
jujur ama Nuna. Huuff~ aku benar-benar minta maaf Nuna.” Kembali lagi Jinki
menatap Rani.
“Perempuan yang kupanggil waktu itu adalah mantan guru lesku
jauh sebelum Nuna.”
Tiba-tiba langkah Rani terhenti. JinKi sampai tidak
menyadarinya.
“Bisa nggak kamu bicara langsung ke inti?” Rani yang sedari
tadi bungkam, akhirnya bersuara.
JinKi menelan ludah, dia menghela nafas berat. Rani terlihat
tidak nyaman, dia merasa serba salah. JinKi menatap Rani, di tengah-tengah
keramaian mereka berhenti. Orang-orang melewati mereka sambil memberikan
pandangan singkat.
“Nuna… aku suka Nuna… itulah intinya.” JinKi terdengar gugup.
Mendengar itu, Rani akhirnya menatap JinKi. Dipandanginya
wajah polos JinKi lekat-lekat. “Apa kamu sedang mempermainkan aku? Kalau mau
bercanda, aku lagi nggak berminat.” Rani menghela nafas dan kembali berjalan.
“Aku serius Nuna… lagu itu—“
“Huuff~ aku capek, udah… kamu nggak usah jelasin apa-apa. Aku
nggak peduli dengan lagu itu… tolong jangan ucapkan pernyataan itu lagi.” Rani menghela
nafas,” berapa perempuan yang sudah menerima gombalmu?”
JinKi tertegun,”Berapa? Maksud Nuna?”
“Yah… apa perempuan… tidak… Nuna-mu yang sebelumnya menolakmu,
makanya sekarang kamu ngejer aku, berharap aku bakalan nerima kamu?” Suara Rani
bergetar, sangat berat rasanya dia mengatakan semua itu, tapi entah kenapa
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tanpa alasan jelas dia sangat
kesal.
“Hari itu… sebenarnya aku mau menembak Nuna tapi—“
“Lupakan… “ Rani seperti orang bingung. Dia mencoba menahan
air matanya yang seperti ingin segera menyembur keluar. “JinKi… aku tidak suka
orang yang lebih muda dariku.” Kata-kata itu keluar begitu saja, Rani bahkan
nggak sadar akan mengatakan hal itu. Jelas-jelas jantungnya berdegup kencang
kalau JinKi berada di dekatnya. Jelas-jelas wajahnya panas saat JinKi
menatapnya, tapi…tapi… apa yang baru saja dia katakan? Rani benar-benar
menyesal sedetik setelah mengatakannya. Dengan bergetar dia melepaskan jas
JinKi yang sedari tadi dikenakannya.
“Sebentar lagi kamu ujian. Aku nggak ingin memperpanjang
masalah ini. Sebaiknya kamu mulai mengatur jadwal belajarmu. Aku kira
percakapan kita hari ini cukup sampai di sini.”
Rani baru saja akan pergi, tapi JinKi menahannya.
“Nuna!!” JinKi memanggil Rani dan segera menghadangnya, dia
berdiri tepat dihadapan Rani. “Maaf…maaf kalau aku membuat Nuna menjadi serba
salah, maaf kalau aku membuat Nuna tidak nyaman, hmm… paling tidak… Nuna mau
menerima ini…” JinKi menyerahkan sebuah bingkisan ke Rani. “Maaf…tapi Nuna terlihat
manis hari ini…” Sambungnya sambil menunduk. Rani spontan menatapnya, wajah
JinKi yang merah karena cuaca yang dingin terlihat semakin memerah. Melihat
tatapan Rani, JinKi memalingkan wajahnya, malu. Rani pun menjadi salah tingkah.
Malam yang dingin hari itu entah kenapa terasa begitu hangat bagi JinKi dan Rani.
Bersambung